Cerpen Khusus Fitriani Nasution*
Perempuan itu masih saja seperti itu. Selalu menangis saat mendengar teriakan yang keras, selalu takut melihat seorang pria dewasa dihadapannya, dan sangat sering berteriak tanpa ada alasan yang jelas. Tapi, kadang kali perempuan itu sedikit tersenyum, walaupun tak ada hal yang membuat dia bahagia selama ini. Perempuan itu hidup dalam diam dan kesendiriannya. Tak ada sahabat yang selalu menemaninya, tak ada orang tua yang selalu memperhatikannya, tak ada sama sekali. Perempuan itu benar-benar sebatang kara dalam menempuh kehidupan di dunia yang tak adil ini, terutama bagi dirinya.
Dalam ruangan yang sederhana, perempuan itu duduk di tempat tidur dengan manis, tapi tetap saja mata yang menghadap ke pintu menandakan kekhawatiran dan kecemasan hatinya. Entah apa yang akan dilakukan perempuan lugu itu. Tiap malam, itulah yang dilakukan di tempat tidur. Sehari tak pernah dia meninggalkan rutinitas tersebut. Setelah dua jam melakukan kebiasaan aneh itu dia langsung tidur dan menarik selimut bergambar doraemon berwarna biru itu. Ya, doraemon adalah idolanya dari kecil sampai sekarang dia sedang melakukan proses menuju dewasa.
***
Saat aku kecil aku sangat bahagia dengan hidupku. Aku senang memiliki keluarga yang harmonis, sehabat yang selalu hadir dalam keadaan apapun. Rina putri Dermawan adalah anak yang paling cantik, itulah yang selalu diucap ayahku setiap pagi saat aku bergegas pergi ke sekolah. delapan belas tahun lalu aku dilahirkan oleh ibu terhebat di dunia ini. Ibu yang selalu mencium pipiku yang cabi ini dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tapi sayangnya itu hanya berlangsung selama 10 tahun. Ibu yang kucintai itu meninggal dunia terbunuh saat dia sedang memasak di dapur dan saat itu tak ada seorang pun dirumah kami. Aku sekolah, ayah belum pulang dari kesibukannya.
Malam yang sangat indah, malam yang seharusnya membuatku bahagia. Tapi, entah mengapa aku tak bisa menanamkan rasa itu dihatiku. Ayahku dengan tersenyum meminta izin kepadaku supaya aku merestui hubungannya dengan wanita cantik itu. Wanita cantik yang diperkenalkan olehku tidak lain adalah tante Arni, sahabat dekat ibuku. Tante Rani sering main kerumahku, jauh setelah ibuku meninggal dan terus seperti itu hingga sekarang. Ayah, dengan tatapan penuh harapan melihat tajam ke arah mataku yang telah berkaca-kaca itu. Ayah berharap anak perempuan satu-satunya itu setuju dan ikut bahagia dengan apa yang dia putuskan saat ini. Aku dengan memaksakan bibirku untuk tersenyum akhirnya menundukan kepala dua kali, pertanda aku setuju dan senang atas pilihan dan keputusan ayahku itu.
Aku pamit izin ke kamar untuk mengganti pakaianku, karena ayah mengajakku untuk makan malam bersama calon istrinya itu. Aku lari dengan cepat ke kamar dan saat ku lihat diriku di cermin kesayanganku, air mata sudah jatuh ke pipiku hingga lantai pun basah dibuatnya. Aku duduk di kasur kesayanganku, aku ambil sebuah foto tepat dimeja belajar samping tempat tidurku. Kupandangi foto keluarga harmonis itu, disana terlihat jelas seorang perempuan kecil tersenyum bahagia sedang meniup lilin berangka 8 diatas kue tar rasa cokelat kesukaanya itu, dan di pipi kiri dan kanan gadis kecil itu dikecup seorang laki-laki dan wanita dewasa dengan penuh cinta kasih, tentu saja mereka orang tua gadis kecil itu. Tak ada orang lain di sana, hanya ada ketiganya disana.
Aku rindu sekali dekapan seorang ibu yang tak pernah kurasakan selama delapan tahun terakhir ini. Delapan tahun lalu, kau masih ada di dekatku. Bersama ayah, kau selalu membuatku bahagia. Delapan tahun lalu kau masih menemaniku dan tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun untuk putri kecilmu itu. Tapi, andai saja kau tahu ibu, sekarang setelah delapan tahun kepergianmu ada yang datang dan ingin menjadi ibuku dan menggantikanmu di hatiku dan ayah. Ayah mungkin bahagia dan sangat mencintai sahabat karibmu itu, tapi tidak denganku. Aku belum cukup ikhlas untuk melihat ayah mencintai istrinya selainmu. Aku tak pernah rela ada yang menggantikan posisimu di hati ayah dan hatiku.
***
Tepat di hari ulang tahunku yang kedelapan belas tahun, aku sama sekali tak merasakan bahagia. Ayah janji akan memberikan hadiah spesial pada hari ini. Awalnya aku sangat bahagia. Aku berpikir ayah akan membelikan boneka doraemon yang besar seperti badanku saat ini, atau ayah akan mengecet kamarku dengan tema doraemon. Tapi dugaanku melesat jauh, dia benar-benar tak pernah melakukan itu. Hadiah spesial yang dia berikan adalah sesosok wanita yang tak asing bagiku, dan dengan bangga ayah bilang akan menikahi wanita itu bulan depan. Ayah mengaku telah menjalani hubungan dengan wanita itu selama tiga tahun belakangan ini.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya ingin menangis dan berteriak sampai suaraku habis. Ini tidak adil bagiku dan almarhum ibuku. Ibu pasti akan sedih kalau tahu suami yang sangat ia cintai sebulan lagi akan resmi menjadi suami sahabatnya sendiri. Sungguh, inikah jalan hidupku sekarang. Ingin sekali rasanya aku bilang pada ayah dengan jujur bahwa sesungguhnya aku tidak setuju dia menikahi wanita itu, tak akan sudi memanggilnya ibu, tak rela kau akan mencintainya lebih dari mencintaiku. Tapi aku tidak bisa, mulutku seakan disihir sehingga aku hanya bisa diam dan reflek menundukan dua kali kepalaku dengan tidak sengaja. Aku tak ingin mengecewakanmu dengan ketidak setujuanku atas kebahagiaanmu itu ayah. Apalagi ditambah senyum ceriamu yang sudah sangat jarang kulihat darimu.
Ayah memanggilku dan ingin menepati janji untuk makan malam bersama di rumah makan padang favorit kami. Aku langsung menghampiri ayah dengan berlinang air mata. Dengan terbata-bata aku beranikan mulutku untuk menyuarakan apa yang ingin ku katakan selama ini. Ayah, sungguh aku sebenarnya tidak ingin menyakitimu. aku tak ingin menghapus kegembiraanmu saat ini. Wanita disampingnya itu hanya diam melihat aku dan ayah, sesekali dia melirik ke arah kami. Aku tantang tatapanku ke mata wanita itu. Dan aku memeluk ayah lagi dengan erat dan sangat lama. Ayah membalas pelukan gadis remajanya yang akan beranjak dewasa itu. Dengan penuh penasaran ayah menayakan ada apa dengan diriku.
Tanpa pikir panjang, aku mulai mengungkapkan apa yang ingin ku katakan selama ini. ayah, andai ayah tahu aku sebenarnya bahagia kalau ayah akan menikah lagi, tapi bukan dengan dia! Dia tak pantas untuk ayah. Tanpa pikir panjang ayah melayangkan tangannya ke pipi kananku. Untuk pertama kalinya ayah menamparku dengan sangat keras hingga hidungku meneteskan darah. Yang sangat menyakitkan sebenarnya bukan karena tamparannya itu, tapi ayah menamparku karena dia ingin membela wanita itu. Wanita yang sangat licik dan sangat menjijikan itu. Dialah wanita yang telah membunuh ibuku, membunuh istrimu yang sangat kau cinta itu ayah. Aku melihat kejadian itu ayah, dengan mata kepalaku sendiri sungguh aku telah melihatnya. Tapi, kalimat itu tak keluar sepatahpun dari mulutku, pernyataan itu hanya dan akan selalu ada dalam mata hatiku. Tamparan ayah itu membuatku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
***
Siang itu, saat aku pulang kerumah, aku melihat ibu dan tante rani sedang bercecok mulut di dapur. Tiba-tiba tante rani menjambak ibu dan membenturkan kepalanya ke lantai dengan sangat kencang. Saat itu aku hanya diam. Tante rani langsung pergi lewat pintu belakang tanpa melihatku. Yang kudengar dari mulut wanita murahan itu hanya “aku akan mendapatkan apa yang kamu dapatkan selama ini”, tepat sekali di depan muka ibuku yang sedah tak bernyawa itu,
Sekarang aku baru sadar apa makna dari perkataan wanita itu. Dulu aku memang tak mengerti apa-apa akan makna itu. Aku tak pernah, sama sekali tak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun. Begitu juga untuk ayah. Sampai akhirnya polisi hanya mengatakan ibuku meninggal karena terpeleset lantai yang licin di dapur. Semua keluargaku dan ayahku percaya saja apa yang dikatakan polisi saat itu.
***
Setelah ayah menamparku, dia menarik wanita itu dan keluar dari rumah sambil mengancamku dengan suara sangat kencang dan dia mengatakan “ aku akan tetap menikahi Rani, tak peduli kau setuju atau tidak “. Dan untuk pertama kalinya juga ayah membentakku dengan suara sangat keras, dan lagi-lagi itu hanya untuk membela wanita yang dia cintai saat ini. dengan mati-matian dia tetap akan menikahi pembunuh itu. Mereka lalu pergi dan aku tetap berdiri diam tak bergerak dari tempat dimana untuk pertama kalinya ayah telah menampar dan membentakku seumur hidupku. Ayah yang rela memilih wanita yang dia sayangi selama tiga tahun itu daripada gadis perempuannya ini yang telah diasuhnya selama delapan belas tahun. Cepat sekali ayah berubah, dia bukan seperti ayahku selama ini.
Dengan perlahan aku ke kamar dengan air mata yang tak pernah henti sejak tragedi tadi.. Seakan air mata adalah saksi bisu ketidakmampuanku dan kebodohanku untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi delapan tahun lalu itu. Aku menyesal dalam hati dan menyalahkan diriku ini. aku masuk kamar dan duduk hampir dua jam dengan menagis di tempat tidurku.
Setelah kejadian itu, ayah tak pernah kembali lagi kerumah. Sudah tiga bulan berlalu, tak pernah ayah pulang, untuk dihubungi saja sangat susah. Sekarang aku benar-benar sebatang kara. Yang bisa kulakukan saat ini adalah tetap menunggu ayah datang, mengetok pintu kamarku dan memelukku lagi. Sungguh, aku sangat merindukan ayah, sekalipun ayah telah melukai hatiku. Aku tak ingin kehilangan ayah, setelah lama aku telah kehilangan ibu.
Kamar tidurku, 28 Maret 2011, Bantul-Yogyakarta.
*Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SUKA Yogyakarta 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar