Selasa, 25 Januari 2011

Herman Wahyudi, Berorganisasi Sejak di Pesantren


Yudi, begitulah sapaan akrabnya, adalah Pimpinan Redaksi Majalah SINERGIA Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) SINERGI HMI Cabang Yogyakarta periode 2010-2011. Track recordnya di dalam berorganisasi sudah tidak diragukan. Terbukti selama dia berproses di organisasi selalu menempati posisi strategis, seperti Kadiv, ketua umum, sekretaris umum, dan didunia jurnalik sebagai sebagai Pimpinan redaksi serta Pimpinan Umum beberapa media jurnalistik, baik yang sejak di pesantren maupun di Yogyakarta. (Bersambung)

Minggu, 23 Januari 2011

UIN Jogja Jelang UAS

Yogyakarta-SINERGIA MAGAZINE, Menjelang UAS yang akan diselenggrakan pada tanggal 27 January 2011, mahasiswa UIN menyempatkan waktu tenang untuk bersantai dan beraktifitas. (teks percobaan)

Jalur Magelang-Yogyakarta Ditutup Lagi

Yogyakarta-SINERGIA MAGAZINE, Aliran deras lahar dingin Gunung Merapi sejak kemarin petang terus mengikis ruas jalan utama Magelang-Yogyakarta. Alhasil, pada Jumat (21/1), kemacetan panjang akibat penyempitan jalan pun tak terhindarkan.

Kondisi ini memaksa petugas Bina Marga Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kembali menutup jalan. Berbagai alat berat pun dikerahkan untuk membersihkan jalan dari pasir dan batuan Merapi.

Sejumlah warga dan relawan sempat turun dan membantu mengatur lalu lintas. Mereka juga mendorong beberapa kendaraan yang mogok setelah mengantre berjam-jam.

Padahal, jalur Magelang-Yogyakarta sempat dibuka malam tadi. Jalan dibuka setelah dilakukan pengerukan selama empat jam [baca: Jalur Magelang-Yogyakarta Bisa Dilalui Lagi].(Liputan 6)

Dari Hitam Ke Putih, Menuju Rekonsiliasi Sejarah G 30 S

Oleh:
Herman Wahyudi

Sekilas G 30 S dan kontroversi sejarah

Adakalanya, ketika kita mengingat istilah Gerakan 30 september (G 30 S/PKI) –hampir pasti– yang terbayang dalam pikiran kita adalah tragedi pembantaian tujuh orang jenderal di Lubang Buaya. Mereka adalah Jenderal TNI A.H. Nasution, Letjen A. Yani, Mayjen TNI Haryono M.T., Mayjen TNI Soeprapto, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Mayjen TNI S. Parman, dan Brigjen TNI Sutojo S.
Berbagai analisis, spekulasi sejarah, dan (bahkan) asumsi tentang siapa dalang dibalik peristiwa tersebut hingga kini masih kontroversi. Namun, terlepas dari itu semua, tentulah kita sepakat bahwa tragedi tersebut masih menyisakan misteri dan luka sejarah mendalam bagi bangsa Indonesia. Khususnya bagi mereka yang terkena efek sejarah politis ala orde baru (baca; Suharto).
Yang perlu diperhatikan, membicarakan peristiwa G 30 S, berarti kita tidak sedang fokus hanya pada pembantaian tujuh orang jenderal di Lubang Buaya. Melainkan kita juga membicarakan penumpasan besar-besaran Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Suharto, pun Surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Dalam artian, membicarakan G 30 S, ibarat mempelajari rangkaian teks skenario drama yang kita tidak boleh melewatkan satu kalimat pun dari pada teks skenario itu. Dengan Supersemar, Suharto memproklamirkan diri sebagai orang yang berwenang –bahkan melampaui presiden Sukarno. Dan setelah peristiwa G 30 S pecah, dengan Supersemar (versi) nya, Soeharto melakukan aksi yang populer dimata rakyat, yaitu membubarkan PKI. Sayangnya, langkah itu semata-mata politis –untuk melakukan kudeta terhadap presiden Sukarno yang notabene PKI pada waktu itu merupakan kekasih politik presiden Sukarno dengan ide Nasakomnya. Sebab secara kongkret, aksi pembantaian terhadap orang-orang komunis sudah dilakukan dalam triwulan terakhir tahun 1965, yang secara efektif sudah membuat PKI rata dengan tanah, dan tidak lagi memiliki kekuatan potensial sebagai rival politik AD. Demikian tentang Supersemar.
Terkait G 30 S serta penumpasan PKI, sangat tidak efektif kiranya jika saya harus medeskripsikan kembali sekenario berdarah itu. Karena, sudah banyak buku-buku sejarah dari berbagai versi yang mendeskripsikannya secara lebih komprehensif. Akan tetapi, sedikit pula saya akan ikut terjun dalam misteri (siapa dalang?) yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi bangsa Indonesia, sekedar memutar rekam jejak sepintas beberapa pelaku sejarah sebagai bahan refleksi.
Bahwa, pertama, Sukarno pernah disebut terlibat dalam G 30 S, akan tetapi terbantahkan oleh fakta ideologi Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang mengindikasikan tidak mungkinnya Sukarno menghendaki penumpasan PKI. Kedua, keterlibatan Suharto seperti disebut-sebut oleh banyak orang pasca runtuhnya Orde Baru (Orba), dalam tulisan Mayjen. (Purn.) juga disangsikan kebenarannya. Oleh karena tidak ada data-data akurat yang menyebut Suharto dalang dibalik G 30 S. Dokumen yang dimunculkan hanya berupa dugaan-dugaan yang bersifat samar, tidak dapat dibuktikan dengan kata-kata yang mendukung, dan sifatnya dianalogikan (Mayjen, Purn. Samsudin, Mengapa G 30 S/PKI Gagal? Suatu Analisis, hal.143). Dan nama-nama lain seperti DN Aidit (ketua PKI), para Jenderal AURI, AD dan bahkan pihak asing CIA (Centre of Intelegence Agency), pun juga disebut-sebut sebagai dalang G 30 S.
Atau –dalam pandangan yang lebih netral– sebetulnya tidak ada perancang tunggal dibalik tragedi 30 September 1965? Versi ini didasarkan pada teori chaos dan ketidakberaturan. Tidak ada pelaku tunggal di balik tragedi tersebut, melainkan pelaku-pelaku yang mengail di air keruh untuk kepentingan politiknya sendiri (Saksi dan pelaku GESTAPU Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, hal.xiv)
Memang, pasca tumbangnya Orba pada tahun 1998 (baca; era reformasi), banyak fakta sejarah –jika hal itu diklaim sebagai fakta– yang mengungkap tabir dibalik tragedi ’65. Banyak para pelaku dan korban sejarah yang “buka mulut” terkait tragedi itu. Sekalipun kita tidak dapat memungkiri adanya berbagai macam bumbu kepentingan (baca; pro-kontra) yang mendasarinya. Namun demikian, pada hakekatnya, versi Orba lah yang paling kuat. Karena suplay buku-buku pelajaran sejarah banyak didominasi oleh versi Orba. Plus suguhan Film (versi Orba) berjudul Penghianatan G 30 S/PKI yang biasa diputar tiap malam 30 september disiaran televisi nasional TVRI hingga berakhirnya masa Orba itu sendiri.
Maka benar seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam kata pegantarnya bahwa history is what the ruler inseribes, Sejarah adalah apa yang digoreskan oleh penguasa. Dalam pemahaman, bahwa sejarah sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Bahwa sejarah (baca; G 30 S), disadari atau tidak, selama tiga dekade lebih menjadi kombinasi utuh penguasa Orde baru. Inilah sebenarnya bongkahan luka yang perlu kita sembuhkan sebagai seorang pemuda penggerak bangsa.

Memulai dengan “Memutihkan Sejarah” G 30 S.

Nampaknya, dalam konteks rekonsiliasi sejarah, adagium nasi sudah menjadi bubur pun harus kita jadikan sebagai dasar pijakan utama. Untuk menghindari terjadinya bongkahan luka sejarah baru bagi bangsa indonesia. Dengan kata lain, tulisan sederhana ini tidak dimaksudkan untuk ikut-ikutan beramsumsi tentang siapa dalang dibalik G 30 S. Biarlah saksi bisu sejarah yang mengabadikan fakta itu dengan “cara”nya sendiri.
Tugas kita sebagai generasi muda hanya berada pada kisaran bagaimana menetralisir kepentingan politis dari pada sejarah G 30 S. Pada prakteknya, harus ada rekonstruksi sejarah yang menghadirkan beragam versi kedalam satu kesatuan utuh sejarah bangsa. Semisal perombakan besar-besaran terhadap buku-buku sejarah yang selama ini telah membentuk pemahaman bangsa tentang G 30 S sesuai selera Orba. Pun, kalau perlu memutar kembali Film sejarah G 30 tiap malam tanggal 30 September dengan versi terbaru yang lebih netral hasil rekonstruksi sejarah yang bersifat kolektif.
Dengan demikian, Luka sejarah akan terobati tanpa harus menghadirkan bongkahan luka baru bagi bangsa Indonesia. Inilah yang penulis sebut dengan “memutihkan sejarah”. Kenapa memutihkan? Karena sejarah G 30 S telah lama di hitamkan oleh kediktatoran rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.

Daftar Pustaka
http://www.dhaniels.com/2010/10/apa-kabar-film-g30spki-pengkhianatan-g.html
Lesmana, Surya, dkk. 2005, Saksi dan pelaku GESTAPU Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, Cet. Kedua, Media Pressindo, Yogyakarta.
Samsudin, Mayjen. (Purn.), 2005, Mengapa G 30 S/PKI Gagal? Suatu Analisis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, cetakan kedua, Menteri Sekretaris Negara, Jakarta.
Soetrisno, Slamet, 2006, Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah, Cet. III (edisi revisi), Media Pressindo, Yogyakarta.
Tim Lembaga Analisis Informasi, 2007, Kontoversi Supersemar dalam transisi kekuasaan Soekarno-Soeharto, Cet. Kesepuluh (edisi revisi), Media Pressindo, Yogyakarta.

Sabtu, 22 Januari 2011

Berguru pada Srigala Mongolia

Judul buku : Wolf Totem
Penulis : Jiang Rong
Penerjemah : Rika Iffati
Tebal buku : 600 halaman
Tahun terbit : Desember 2009
Penerbit : Hikmah
Peresensi : Shirhi Athmainnah*

Jengis Khan adalah sosok paling berpengaruh di Asia. Ia berhasil meruntuhkan semangat perang di Tebing Serigala Liar, dimana 100.000 pasukan meruntuhkan musuh yang lebih dari setengah juta jiwa. Tidak hanya itu, Ia berhasil merebut ibu kota kerajaan Jin, Dadu, yang sekarang ini disebut Beijing.
Sangat sederhana pemikiran Jengis Khan, Ia hanya berguru pada alam. Serigala adalah sumber inspirasi dan guru besar bagi masyarakat Mongol. Strategi yang dilakukan sekawanan serigala ternyata cukup mampu menjadi kurikulum pendidikan militer masyarakat Mongol. Sehingga pantas jika serigala adalah totem spiritual masyarakat Mongol.
Chen Zhen, tokoh dalam novel karangan Jiang Rong yang berjudul Wolf Totem adalah pemuda yang giat mempertahankan asa tertingginya. Ia berani terjun langsung ke padang rumput Olonbulag untuk memahami seekor serigala beserta seluk beluk kehidupan padang rumput.
Keganasan serigala membuat pelajar dari Cina itu berdecak kagum. Keliaran serigala menjadi totem bagi penduduk Nomad padang rumput Olonbulag. Dengan membuang mayat manusia kepada serigala, penduduk Nomad Olonbulag percaya bahwa arwah jenazah itu akan sampai ke Tengger. Penghormatan akan kelestarian padang rumput sangat dijunjung tinggi. Karena bagi penduduk Mongol, padang rumput adalah kehidupan terbesar. Tanpa padang rumput, tak akan ada kehidupan.
Dilain sisi, Chen Zhen khawatir jika Bilgee sang kepala suku Olonbulag yang sangat disegani dan selalu disetujui pendapatnya, mengetahui kalau kalangan petani memelihara anak serigala. Pasalnya, masyarakat dilarang memelihara sribagala. Namun tidak membuat spirit Chen padam. Ia bahkan melakukan percobaan dengan mengawinkan anak serigala jantan dengan anak anjing betina. Akankah percobaan ilmiah Chen berhasil? Kuatkah menghadapi cemoohan kaum penggembala yang menganggap serigala sebagai totem spiritual mereka?.
Perjuangan memang tidak pernah mulus. Perbedaan perspektif untuk melestarikan padang rumput dilatarbelakangi oleh perbedaan basic keilmuan terjadi di Olonbulag. Bagi Bilgee, yang sudah puluhan tahun hidup dipadang rumput, ia berpandangan bahwa tidak boleh ada pemusnahan serigala dengan cara-cara ekstrim seperti menggunakan senapan dan bahan peledak. Namun pandangan itu terlihat tabu, sebab yang memegang kekuasaan di padang rumput itu bukan ahli padang rumput. Jadi pantas jika padang rumput terancam kesejahteraannya. Pemandangan ini merupakan representasi hadits Nabi SAW. “Barangsiapa menyerahkan suatu perkara bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran”.
Salah satu yang terbersit dari buku ini adalah bahwa kenyataan pahit harus ditelan ketika kekuasaan dan keserakahan yang berbicara. Semuanya bungkam tak berkata saat Bao Sunghui melakukan tindakan sewenang-wenang. Ia dengan angkuh memimpin perburuan serigala dengan cara-cara yang menurut adat istiadat padang rumput sangat tidak wajar. Dan ketidakwajaran itu nyaris membuat padang rumput yang damai itu terusik kehidupannya.
Novel yang telah diterjemahkan kedalam lebih dari 30 bahasa ini, Episode demi episode di padang rumput Mongolia selalu menarik perhatian. Taktik serigala liar Mongolia selalu inovatif dan mengagumkan. Perjuangan serigala dalam memburu mangsa menjadi ibrah bagi pembaca, bahwa hidup itu tidaklah gampang. Terlebih keinginan untuk hidup sejahtera, tidak semudah mengutarakan teori-teori dalam seminar-seminar. Perlu pengorbanan dan strategi.
Novel ini sangat cocok untuk memompa semangat para pejuang. Segala elemen masyarakat sangat mungkin untuk bisa belajar dari para penghuni padang rumput yang diceritakan dalam novel yang akan difilmkan in. Novel yang hidup seperti inilah yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia. Sudah terlalu sering masyarakat kita disuguhi novel dengan kisah-kisah yang mengharu biru dan menyebabkan kecengengan diakhirnya.

*penulis adalah civitas LKSY

Menyoal Hedonesme Mahasiswa

Disetiap penghujung satu abad, akan lahir seorang reformis di bumi ini. Dia akan mengarahkan kemana peradaban akan bergerak. Dalam catatan sejarah, sang reformis itu berkreteria pencipta dan pekerja keras, tidak terpengaruh oleh budaya dan lingkungan. (Thomas Aquines)
Mendambakan generasi bermental inovatif dan bebas dari lilitan pengaruh zaman, rasanya naif ketika melihat fenomena sekarang. Mahasiswa yang menjadi sorotan sekaligus titian harapan ummat, malah menampilkan sikap diluar fungsi dan perannya sebagai agent social of change and transformation. Kini, mahasiswa terjerat dalam bundaran popular culture yang berhaluan hedonis-konsumeris. Hingga sampai pada ujung pemandangan yang kering akan tatanan moral dan etika.
Berdalih ingin membusungkan diri melalui gaya hidup, malah tersapu kebanggaan dan popularitas. Gerak simbiosis mahasiswa dari waktu ke waktu semakin menghawatirkan. Kenyataan ini memang membuat dahi berkerut. Seperti yang diutarakan Ahmad Bashir pada Sinergi “Sebenarnya gaya hidup mewah boleh-boleh saja asalkan sudah punya biaya sendiri. Namun hal itu tidak saya dapatkan pada mahasiswa sekarang. Mereka bergantung sama Ortu. Jadi gag pantas hidup bermewah-mewah”.
Pada salah satu obrolan panjang dengan reporter Sinergi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini tidak kuasa menahan letupan pemikirannya mengenai eksistensi mahasiswa yang tidak karuan. Ia melengkapkan “budaya intelektual dan kultur ilmiah kurang diminati oleh kalangan mahasiswa sekarang, mereka lebih tertarik pada kesenangan. Sulit menemukan kreatifitas edukatif yang tercipta dari komunitas mahasiswa, yang ada malah hura-hura dan menjalin asmara, mahasiswa yang berkumpul tidak lagi membicarakan tetang issu nasional, fenomena di masyarakat dan bagaimana menyikapi permasalahan bangsa dan Negara, makanya saya lebih enak tidur dan baca buku di Mushalla dari pada berkelompok dengan mereka”. Tuturnya sambil tersenyum.
Ahmad Bashir yang sering memakai peci di kampus, tercatat sebagai mahasiswa jurusan Jinayah Siyasah (JS) fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Selain itu, pria yang duduk dibangku semester empat ini, adalah penulis di media massa. Tulisan-tulisannya nongkrong nyaris disemua media nasional. “saya termasuk orang yang cepat berproses dalam menulis, selama dua bulan tulisan saya sudah dimuat”. Katanya.
Berkat karyanya itu, banyak anugerah yang Ia dapatkan. Dua minggu di Yogyakarta kiriman dari orang tua sudah berhenti. Bahkan mahasiswa yang biasa dipanggil Bashir ini sudah mampu membalikkan keadaan, dalam artian, orang tua sudah dapat menikmati kreatifitas anaknya, setiap tiga bulan Bashir mengirim uang -biasanya- berkisar 1.200.000.
Namun bukan hasil yang seharusnya dilihat, melainkan proses. Sebagai alumni Ponpes Al-Huda Sumenep-Madura, semenjak datang ke Yogyakarta Bashir memulai aktifitas dengan berjualan buku selama dua bulan. Namun kerja dengan hasil tidak seimbang, berjualan kesana-sini, hasilnya hanya bisa dibuat makan bersama kawan-kawan. Akan tetapi jauh dari sana, nyali intelektual dan keinginan untuk mandiri melenyapkan semua rasa sakit yang didera.
Bahkan disela kesibukannya, Bashir berhasil menyandang juara 1 lomba membaca al-Quran terbalik se-Bantul. Prestasi ini, tak lepas dari berbagai aktifitas yang ditekuninya, dari mangaji kitab, diskusi dan menulis jam 02.00 pagi. Semuanya, untuk mengangkat harkat mahasiswa yang kreatif dan penggerak. Menurutnya, menulis adalah suatu gerakan anti anarkisme yang yang harus dilestarikan. “mahasiswa itu seharusnya bisa menulis dengan baik, bukankah menulis merupakan satu-satunya pemikiran mahasiswa global”.
Dari sudut kekeluargaan, Bashir adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia dilahirkan di Batu Putih Sumenep Madura. Sikap dan keperawakannya, menampakkan kalau Ia berasal dari keturunan kurang mampu.. Saat ini, Bashir tinggal di pondok Hasyim Asyari Yogyakarta. Disana budaya membaca dan menulis memang telah digodok semenjak pesantren ini berdiri.
Berangkat jam 05.30 menuju kampus dengan sepeda ontel kesayangannya, Bashir tidak pernah terlambat kuliah atau mengeluh. Baginya, kondisi menggantung bukan mahasiswa dalam makna yang sebenarnya, tapi kemandirian dan kerja keras menjadi acuan. Walaupun jarak 17 KM ditempuh Ia nikmati dengan rasa senang. Kendati melihat teman-teman sejawatnya membawa motor, namun kreatifitas tidak bisa ditemui dari harta. “Mahasiswa itu selayaknya tidak bergantung, tapi hidup mandiri. Bagaimana mau membangun Negara, kalau hidupnya bergantung pada orang lain.” Ungkap pria yang berkulit putih ini.
Jauh dari penilaian orang-orang, kalau kuliah sambil kerja akan mengurangi nilai ujian semester. Klaim seperti itu tidak berlaku pada Bashir, setiap semester Dia tidak pernah mendapatkan IPK dibawah 3.00. “kerja dan menulis bukan alasan mendapat nilai rendah, bahkan dengan menulis bisa mendapat nilai “A”, itu sudah saya buktikan, selain itu saya gag pernah mendapat nilai 3.00, melainkan lebih diatasnya”.
Diakhir perbincangan, mahasiswa juara 1 lomba resensi OPAK 2008 ini, mengatakan agar mahasiswa tidak terperdaya oleh lingkungan tapi menciptakan lingkungan. Mengembangkan potensi dan berusaha keras hidup mandiri tanpa bergantung.(Basyar DZ)

Mengandai Masa Depan HMI Tanpa Independensi

Memasuki umur yang semakin senja, nampaknya, HMI masih belum bisa terlepas dari sederet isu hubungannya dengan eksistensi kader dan independensi. Keterlibatan kader dalam politik praktis seolah menjadi satu topik persoalan tahunan yang tak pernah usang untuk diperbincangkan. Ujungnya, menyoal kembali “sakralitas” independensi di HMI.
Mendekati pelaksanaan kongres HMI XXVII yang akan direalisasikan beberapa bulan kedepan, isu-isu independensi dan politik praktis yang bersumberkan virus pragmatisme tersebut sudah seyogiyanya menjadi perhatian utama bagi HMI. Lebih-lebih, bila HMI masih memiliki sejumlah daftar mimpi-mimpi besar yang hendak diraih. Baik itu dilakukan dengan cara merenovasi konsep ideologisasi di HMI secara umum, atau bahkan –kalau perlu “merombak” kembali bangunan independensi.
Jelas, melihat realitas kader HMI yang sekarang cenderung praktis; menganggap organisasi hanya sebagai sebuah “kantor pos” yang siap mengantar surat ke berbagai tempat tujuan pragmatis kader, Organisasi berbendera Hijau Hitam ini mengalami krisis idealisme. Sehingga yang ada dan berkembang dalam pola pikir kader zaman sekarang bukan lagi bagaimana menjunjung tinggi apalagi membesarkan HMI seperti pada “zaman”nya. Melainkan, bagaimana dia (baca; kader HMI) bisa menjadi seperti abang-abangnya yang sudah duduk manis di luar sana. Tentunya secara serba praktis.
Independensi seperti termaktub dalam AD HMI pasal 6 merupakan manifestasi-normatif dari upaya sterilisasi gerakan-gerakan HMI dalam memperjuangkan visi-misinya. Sebagai kader ideal yang berdarah hijau hitam, independensi tentu menjadi roh utama sebagai idelisme dari segala aktifitas pergerakan di HMI. Karena pergerakan tanpa idealisme adalah kering nilai. Ketika ini terus terjadi, maka pertanyaan bagi HMI, mau dibawa kemana organisasi ini?
Demikian merupakan fenomena memperihatinkan yang tidak akan teratasi dengan hanya sebatas perang wacana antar kader HMI. Begitu banyak kampus-kampus yang perlu untuk di hijau hitamkan. Sementara HMI masih sekarat dengan penyakit pragmatismenya. Jangankan berpikir menjadikan kampus hijau hitam, mengurus kaderisasi di komisariat-komisariat saja terkadang masih belum bisa –untuk tidak mengatakan tidak– terlepas dari hitungan-hitungan pragmatis.
Oleh karena itu, saatnya HMI meraih cita-cita dengan “mempertegas” kembali independensinya atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, independensi dihapus dari kitab suci AD HMI. Karena, apalah arti sebuah aturan jika tidak memiliki kekuatan secara normatif (nilai-nilai sakralitas) dimata kader. Sebuah aturan tentu tidak dibuat bukan untuk membuat kader “murtad” terhadapnya. Melainkan untuk dijalankan sebagai khittah organisasi (baca; HMI).
Mungkin, yang dapat dikatakan, lebih baik tanpa independensi dari pada mempertahankan tradisi “murtad” terhadap organisasi. Tradisi murtad tidak akan dapat memberi nilai-nilai terhadap sebuah pergerakan. Melainkan, hanya dapat menjadi virus bagi eksistensi organisasi HMI. Yang lama-kelamaan akan mengakibatkan pada matinya organisasi ditelan kuatnya arus idelisme organisasi-organisasi lain. Sehingga, HMI pun hanya akan menjadi sejarah panjang yang melelahkan dari seorang Lafran Pane.
Sebagai kata akhir, independensi tidaklah lebih dari –meminjam bahasa Sudarsono– sebatas iklan jika pada hakekatnya tidak memiliki kekuatan nomatif. Dan tentang bagaimana memiliki kekuatan secara normatif tersebut –mau tidak mau– dengan pula mempertegas secara teknis aturan main independensi itu sendiri jika HMI masih punya mimpi.(Redaksi)

HMI: Sebuah Nama, Sebuah Cerita

Oleh:
Aseb "Kresna" Subhan

Ada sebuah rumor mengenai sebuah kampus di Yogyakarta, khususnya tentang mahasiswi-mahasiswi-nya: sebuah kampus Islam, dengan beribu peraturan Islami, dan—barangkali—beberapa organisasi independen yang menyuarakan gema keinginan mendirikan negara Islam. Di sana salah satu peraturan “Islami” adalah keharusan mengenakan jilbab bagi mahasiswi. Terlepas dari perdebatan apakah jilbab memang made in Islam ataupun tidak, tiap harinya ada pemandangan lucu di kampus itu: para kaum hawa yang bertelanjang rambut, mengenakan jilbab secara asal-asalan di tempat parkir, kemudian siang harinya, atau sore hari, pemandangan serupa terulang dengan modus terbalik: para mahasiswi yang berjilbab asal-asalan keluar dari kampus, dan ketika sampai di tempat parkir, rambut mereka kembali berkibar, dan jilbab pun masuk tas kembali dengan sukesnya, atau dibuang ke tempat sampah berwarna merah di pojok sana.
Kemudian, masih mengenai kampus pula, tapi ini bukan rumor, di Indonesia ini, di kampus-kampus, ada sebuah organisasi mahasiswa yang memiliki nama HMI. Sepengetahuan saya hanya ada sebuah tafsir untuk nama itu: Himpunan Mahasiswa Islam. Tentu saja dalam perjalanannya organisasi ini memang kemudian terpecah menjadi dua HMI; Dipo dan MPO, dua pembagian yang merupakan sisa-sisa era ketika ideologi dan praktek merupakan dua hal yang memanaskan dunia mahasiswa, tapi itu bukan inti yang hendak saya ceritakan sekarang, saya hanya ingin mengawali dengan nama, dan sebuah pertanyaan yang menggelitik: apa bahasa Inggris dari nama HMI?
Saya yakin banyak teman HMI—setidaknya yang satu angkatan dengan saya, di Fakultas Sastra UIN Sunan Kalijaga—akan menjawab dengan pasti: Islamic Association of University Students, sebab akronim itulah yang ada dalam formulir pendaftaran menjadi anggota HMI, dan ingat, kesan pertama tak mudah dilupa, kan?
Saya juga barangkali ikut-ikutan seperti mereka, menjawab seperti itu, jika saja saya tidak karena suatu kebetulan membaca The Jakarta Post di Pusat Bahasa, Budaya, dan Agama UIN Sunan Kalijaga dan menemukan akronim lain untuk Inggrisisasi nama HMI: Association of Islamic Students.
Saya tentu saja tidak dalam posisi memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, saya hanya yakin, masalah yang kelihatan sepele ini sebenarnya penting, sebab hanya dalam sastra Shakespeare bisa bilang What is in a name: ingat, HMI bukan organisasi sastra, bukan juga paguyuban pengagum Shakespeare.
Tahun 2005, bulan Juni, Mizan menerbitkan sebuah kamus Indonesia-Inggris yang membuat kamus John M.Echols dan Hassan Shadily bukanlah apa-apa. Tentu saja saya belum membandingkannya dengan kamus Peter Salim, tapi yakinlah, kamus yang tebalnya 1100 halaman lebih dengan ukuran 24,5 centimeter itu memang sesuai dengan komentar Hein Steinhause dalam Jurnal Indonesia: ia memiliki lema yang lebih banyak dan beragam daripada KBBI. Di kamus tersebut, dalam cetakan ketiga tahun 2009, anda akan menemukan di halaman tiga-ratus-enam-puluh-empat bahwa Himpunan Mahasiswa Islam dialih-bahasa-kan ke dalam bahasa Inggris menjadi Islamic Students Association.
Terjemahan pertama: Islamic Association of University Students, memberikan kesan bahwa HMI adalah organisasi Islam untuk mahasiswa, sementara Association of Islamic Students dan Islamic Students Association hanya berbeda dalam penyimpanan urut-urutan jenis kata, maknanya sama, atau setidaknya katakanlah sama: organisasi mahasiswa Islam.
Tunggu, tunggu, barangkali demikian anda akan berkata, bukankah bahasa Inggris dari mahasiswa adalah university student? Maka dari itu penerjemahan mahasiswa dengan student saja tak dianggap boleh?
Berbicara boleh dan tidak boleh, sebenarnya penerjemahan mahasiswa ke dalam bahasa Inggris tak-lah wajib menggunakan university student. Sebagaimana kata kakak seringkali diperbolehkan menggunakan kata brother tanpa embel-embel older (lihat misalnya Harry Potter and Deathly Hollow-nya JK Rowling), demikian pula-lah dengan kata mahasiswa. Dan ingat, ada istilah tersendiri untuk mahasiswa tiap tingkatan, istilah khusus dalam bahasa Inggris yang sama sekali tak mencantumkan embel-embel university. Mahasiswa tingkat I misalnya dalam bahasa Inggris disebut Freshman, tingkat II Sophomore, tingkat III Junior, dst.
Ada perbedaan tentu saja pada dua terjemahan untuk HMI tersebut di atas. Terjemahan pertama menitikberatkan Islam sebagai identitas organisasi, sementara yang kedua menitikberatkan keislaman mahasiswa-nya. Perbedaan ini bisa saja lahir tanpa niat apa-apa, selain barangkali perbedaan latar belakang pencipta akronim-akronim tersebut, tapi saya tertarik untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda: tidakkah kedua terjemahan tersebut menunjukkan bahwa selalu ada perbedaan pemahaman akan orientasi sebuah organisasi, tergantung siapa yang memandang orientasi tersebut, sebagai misal apakah ia orang ”dalam” atau justru orang ”luar”?
Terjemahan pertama, walau saya tak yakin betul, tapi anggaplah ia dibuat oleh orang dalam, sementara terjemahan kedua adalah bikinan orang luar. Kedua bagian ini tampaknya memiliki pemahaman berbeda tentang HMI: terjemahan pertama mengisyaratkan bahwa HMI adalah sebuah organisasi Islam untuk mahasiswa—yang tentu saja harus Islam juga. Sebuah organisasi Islam, pasca pencabutan asas tunggal pancasila, tentu saja akan berasaskan Islam. Sementara terjemahan kedua mengisyaratkan bahwa HMI adalah organisasi untuk mahasiswa yang Islam. Tanpa ada kesan bahwa organisasi itu sendiri berasaskan Islam.
Kalau begitu salahkah salah satu dari terjemahan tersebut? Terlalu terburu-buru jika kita langsung memvonis demikian, sebab tanpa beranggapan bahwa sebuah organisasi berasaskan Islam, asalkan ada kesan bahwa pengikut-pengikut organisasi tersebut adalah muslim dan muslimah, kita akan tahu bahwa keislaman akan menjadi penopang organisasi tersebut. Mengapa? Sebab organisasi adalah kumpulan dari manusia-manusia, mana mungkin ada manusia-manusia muslim betah bergabung dalam organisasi yang tak menjadikan Islam sebagai panduan?
Tapi tentu saja di era ketika Islam sudah sangat universal seperti sekarang ini, penunjukkan identitas sebuah organisasi sebagai berasaskan Islam adalah sebuah hal penting, sebab ada banyak manusia Islam yang tak ingin membawa-bawa islam ke dalam keorganisasian, ada banyak manusia Islam yang mengatakan bahwa atheisme (suatu istilah yang tak jelas benar artinya, tapi okelah di sini dimaknai ketidakadaan pengakuan akan campur tangan Tuhan) adalah sisi yang harus dimunculkan ketika berorganisasi. Untuk menunjukkan penolakan terhadap sikap ”atheisme sementara” seperti itu, terjemahan pertama tentu saja lebih cocok, sebab ia menawarkan ketegasan: HMI adalah sebuah organisasi berasaskan Islam, dan ia didirikian untuk mahasiswa. Keislaman adalah sesuatu yang dimunculkan dari dalam organisasi, bukan dimunculkan belakangan dari mahasiswa-mahasiswa yang bergabung. Dengan demikian, mahasiswa menjadi sesuatu yang aktif, tapi juga memiliki kekangan, sebab bukankah banyak mahasiswa yang aktif, dan mereka muslim, tapi keaktifan mereka kemudian menjadi bumerang: sebab paham atheisme berorganisasi, suatu paham yang sangat aneh, yang menganggap ke-Islam-an sama dengan kerudung di salah satu kampus Islam di Yogyakarta: ia bisa kita pakai ketika kita merasakan ada keharusan untuk memakainya, dan kita bisa mencopotnya kapanpun kita mau, tanpa harus merasa bersalah, tanpa harus sadar bahwa ke-Islam-an kita barangkali berkurang karena hal itu, untuk kemudian memakainya lagi ketika keharusan memakai tersebut datang lagi: betapa anehnya, betapa absurdnya.

Memperkuat Kepemimpinan Muda untuk Menjawab Tantangan Bangsa

Oleh:
Basyar Dikuraisyin

Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengguncang dunia.
(Ir. Soekarno).

‘Curhat’ idealisme diatas, bukan sekadar letupan nasional dari sang pemimpin, melainkan lokomotif kebangsaan yang multi-sentris. Pergerakan bangsa tidak pernah terlepas dari upaya dan kerja keras dari kaum mudanya. Segala kreativitas, inovasi, idealisme, dan integritasnya kian kental dalam jiwa-jiwa muda.
Fenomena lahirnya pemimpin muda dibeberapa negara misalnya Kevin Ruud (Australia), JP. Balkenende (Belanda), Jhon Key (PM Selandia Baru), Medvedew (Rusia), Barack Obama(AS) dan Abhisit Vejjajiva yang baru terpilih menjadi PM Thailand adalah tanda-tanda alam yang mengisyaratkan bahwa pelaku perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman adalah pemimpin muda.
Generasi Muda adalah pewaris, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan penopang proses pembangunan nasional. Posisi generasi muda dalam masyarakat menempati mata rantai yang paling sentral. Pemuda berperan sebagai pelestari nilai budaya, kejuangan, pelopor dan perintis pembaruan melalui karsa, karya dan dedikasi. Selain itu pemuda juga mempunyai peran dalam menggerakkan pembangunan sekaligus menjadi pelaku aktif dalam proses pembangunan nasional serta berperan dalam memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Murgiyanto, 2003).
Sedikit menilik sejarah Indonesia, peran kaum muda kian terasa dalam membawa bangsa ini keluar dari kenistaan para penjajah. Pada 1908, muncul Kebangkitan Nasional, lalu Sumpah Pemuda (1928), Kemerdekaan Republik Indonesia (1945). Kemudian pergerakan pemuda pascakemerdekaan, Peristiwa Malari (1974), dan gerakan Reformasi (1998) yang merupakan sejumlah deretan noktah sejarah pemuda yang menjadi bagian peradaban Indonesia.
Hingga saat ini, peran dari kaum muda sangat dibutuhkan meskipun dengan cara-cara dan permasalahan yang berbeda. Pengaruh kaum muda memang membawa angin segar bagi peradaban dan kemajuan bangsa ini. Di bawah kepemimpinan jiwa-jiwa muda, Indonesia mulai menemukan jati dirinya dengan mampu terbebas dari penjajah masa itu. Namun, pergerakan pascakemerdekaan terus mendidik Indonesia untuk terus dewasa melalui upaya-upaya yang dilakukan kaum muda.
Dengan semangat yang begitu besar sudah selayaknya bangsa yang besar mampu menghargai dan membangun integritasnya dengan melibatkan kaum muda dalam pembangunan nasional. Beranjak dari kontribusi kaum muda dalam membangun bangsa, ada hal penting yang perlu diperhatikan bahwa kepemimpinan kaum muda yang spektakuler tidak semata-mata timbul dari dirinya.
Dalam menanggapi perubahan dunia, kaum muda sebagai calon pemegang tampuk kepemimpinan juga mesti memperhatikan pendapat Rossabeth Moss Kanter (1994) yang mengemukakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, dan karenanya setiap pelakunya, termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection, dan confidence.
Akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang berani memasrahkan diri untuk dipimpin oleh kaum muda. Secara mafhum mukholafah, jangan pernah bermimpi merenggut nation of is the best, jika krisis kepemimpinan muda merambah.

Bachdim Bawa Persema Tekuk PSM


Malang – SINERGIA MAGAZINE, Persema berhasil mengalahkan PSM Makassar 2-1 dalam lanjutan Liga Primer Indonesia (LPI), Sabtu, 22 Januari 2011. Mantan pemain timnas Irfan Bachdim menjadi penyelamat Persema dalam duel ini.

Bertanding di Stadion Gajayana, Malang, Persema justru tertinggal lebih dulu atas PSM. Gawang Laskar Ken Arok jebol pada menit ke-18 lewat aksi pemain PSM, Screkco Mitrovic memaksimalkan tendangan bebas.

Namun keunggulan tersebut tak bertahan lama. Pasalnya, Bachdim mampu menyamakan kedudukan melalui titik penalti pada menit ke-33, setelah Goran Subara melakukan "handsball" di kotak penalti.

Gol kedua Persema, kembali lahir dari kaki Bachdim pada menit ke-91 usai mendapat umpan dari sayap kiri PSM. Pemain blasteran Belanda-Indonesia itu pun sukses merubah skor menjadi 2-1 untuk Persema.
Usai Pertandingan, Pelatih Persema Timo Schunemann, memuji penampilan anak asuhnya tersebut, termasuk Bachdim.

Timo menjelaskan, kemenangan Persema ini adalah berkat kerja sama tim dan pemain Persema yang lebih menguasai permainan saat Stadion Gajayana dalam keadaan basah.

Dikatakannya, penampilan Persema hanya terganggu karena hujan yang cukup deras, meski demikian Timo mengaku puas dengan laga itu karena mampu memberikan penampilan yang memuaskan bagi penonton.

Sementara Asisten pelatih PSM Makassar Listiadi juga memberikan apresiasi kepada tuan rumah meski timnnya kalah.

"Pemain Persema bagus dan menampilkan permainan apik, meski kami kalah 1-2 atas tim tuan rumah, saya tetap bangga," kata Listiadi dalam keterangan persnya usai pertandingan.

Selain itu, Listiadi memberikan pujian kepada wasit Mukhils Ali Fathoni yang memimpin pertandingan. "Wasitnya luar biasa fair play," katanya.

Mengenai penyebab kekalahannya, Listiadi mengatakan, bahwa pemain PSM Makassar dianggap kalah bagus dalam hal fisik.

"Pemain kami kalah fisik dengan pemain Persema. Maklum, karena belum maksimal mempersiapkan fisik pemain," katanya. (VIVA news)

Jumat, 21 Januari 2011

Sembilan Bulan di Kalimantan, Irul Lepas Kerinduan Bersama Pengurus SINERGI


Yogyakarta–SINERGIA MAGAZINE, Setelah sembilan bulan bekerja di Kalimantan Timur, mantan Pimpinan Redaksi LAPMI SINERGI HMI Cabang Yogyakarta, Chaerul Arif, menyempatkan diri berkumpul-kumpul dengan pengurus LAPMI SINERGI di Kedai Gendhong Kebun Laras, Jum’at (21/01). Pada kesempatan nongkrong itu, Irul (sapaan akrab Chaerul Arif) bercerita banyak hal tentang masa lalunya di SINERGI.
Irul, juga sedikit banyak menyinggung soal kegiatan-kegiatan pada periode kepengurus sekarang. Bahkan, dari saking cintanya terhadap SINERGI, Irul menyempatkan diri untuk ngajak sharing terkait agenda-agenda terdekat SINERGI, termasuk soal pelatihan Jurnalistik Dasar, rekrutment, dan Musyawarah Lembaga (Muslem). “Mari, apa agenda teman-teman sekarang, kita sharing,” begitulah Irul mengajak pengurus untuk share sejenak.
Setelah serius-seriusan sejenak, suasanapun cair kembali. Tertawa bareng, cerita, nostalgia sambil ngopi adalah suasana yang paling mewarnai pertemuan yang berlangsung selama 5 jaman sejak pukul 20.00 WIB.(Ian)

Menjelang Pemilwa, Komisariat FISHUM Targetkan Majalah

Yogyakarta–SINERGIA MAGAZINE, Menjelang pelaksanaan pemilwa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) targetkan untuk menerbitkan majalah sebelum pemungutan suara dilaksanakan awal maret mendatang. Hal ini dimaksudkan agar HMI FISHUM dapat memberikan warna dan sekaligus media propaganda di FISHUM.
“Kita targetkan Majalah Fi-Zine (nama majalah Komisariat FISHUM, red.) selesai awal februari, setidak-tidaknya pasca UAS diselenggarakan, atau sebelum pemungutan suara yang ditarget awal maret mendatang. Ini kita maksudkan, disamping dalam rangka mewadahi kreatifitas kader juga sebagai media propaganda pada pelaksanaan pemilwa 2011,” demikian seperti disampaikan oleh Sekretaris Umum Komisariat FISHUM yang juga inisiator dan Pimpinan Umum Fi-ZIne, Herman Wahyudi. “Fi-Zine sekarang sudah dalam tahap lay out, jadi tunggu saja nanti hasilnya. Semoga tidak ada kendala berarti, ini semua untuk kader, dan untuk HMI secara umum,” tutur Yudi (sapaan akrab Herman Wahyudi).
Ditanya soal konten Majalah apakah ada sangkut pautnya dengan pemilwa, “sebenarnya, secara umum majalah ini murni berangkat dari Fakultas dan HMI Komisariat FISHUM khususnya. Artinya, kontennya juga sebagaimana majalah Fakultas, jadi istilah propaganda tadi sebenarnya sekedar pengistilahan saja. Kalau ternyata majalah ini mampu mewarnai dan menjadi ‘rajanya media Fakultas’ bukankah secara otomatis sifatnya akan propagandis, seperti itu maksud saya,” tegas pria kelahiran Sumenep Madura itu.
Fi-Zine terbilang inisiatif baru di Komisariat FISHUM, sebelumnya Komisariat FISHUM belum pernah menerbitkan produk kekaryaan apapun. “Ini merupakan program baru dari pengurus bidang kekaryaan, dan Kabidnya, saudara Linggar adalah sebagai Pemimpin Redaksi majalah ini,” tukas Yudi. “Dan soal apakah komisariat akan membentuk LAPMI, itu belakangan, yang penting kita terbitkan produk untuk mewarnai Pemilwa dan pers kampus yang selama ini kehilangan gaungnya,” lanjut mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi itu. (Ian)

Pesantren Waria; Realitas Lain di Balik Gempa Jogja 2006


Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis, begitulah yang tertulis pada plang sebuah bagunan yang tidak lain adalah sentral kegiatan beribadah komunitas waria. Secara geografis, Letaknya berada di sebelah timur tidak jauh dari Pusat perbelanjaan Malioboro. Tepatnya di Desa Notoyudan Gg II/1294, RT 85 RW 24 Gedongtengen Yogyakarta.

Dari pinggir jalan raya Letjend Suprapto, posisi bangunan itu terlihat seperti layaknya rumah biasa. Menghadap ke utara dengan arsitektur ala rumah pribadi. Tidak ada suatu ciri khas yang mengidentikkan bangunan tersebut sebuah Pondok Pesantren, dimana kegiatan keagamaan kaum waria berpusat disana. Terkecuali hanya sebatas plang bermaterikan gabus dengan kombinasi warna kuning-hijau-merah sebagai sebuah penanda.

Jalur Jalan berupa gang sempit dan posisi yang agak menurun sekitar 1,5 meter ke bawah membuat reporter Sinergia harus ekstra pelan dan hati-hati dalam mengendarai motor ke area lokasi Ponpes. Tidak sampai 10 meter dari mulut jalan raya, pas dibibir turunan jalan, posisi kami sudah persis di depan podok pesantren.

Melihat pintu rumah itu (pesantren, red.) terbuka, kamipun langsung mengetuk pintu. Hampir 3 menit menunggu dan 3 kali mengetuk pintu, terlihat gadis kecil kira-kira berumur 9 tahunan keluar dari dalam rumah seraya menyapa dengan lembut, “cari Ibu ya mas?”. Walau mulanya agak sedikit ragu dengan kata “ibu” tadi, akhirnya kami pun lantas menyahut “iya dek, ada?”, “bentar ya mas”.

Kemudian terdengar suara gadis kecil itu memanggil seseorang dengan sebutan Ibu. Selang 1 menit, sesosok bertubuh besar dan berpenampilan serba feminine pun keluar dari dalam. Itulah mungkin jawaban dari kata “ibu” tadi, yang tidak lain adalah Maryani. Pendiri sekaligus pengasuh Pondok pesantren khusus waria itupun menyapa dan mempersilahkan kami masuk.

Dengan santai kamipun memulai perbincangan. Sekeliling ruangan terlihat atribut-atribut islam seperti kaligrafi dan juga ada foto seorang laki-laki dengan kopyah putih kokoh bersurban serta disampingnya ada seorang perempuan yang menurut keterangan Maryani tidak lain adalah KH. Hamrulie Harun, M.Sc. beserta istriya.

Beliau adalah figur kyai idola kaum waria yang telah menginspirasi berdirinya pondok pesantren khusus waria senin-kamis. Lewat Pengajian mujahadah al-Fatahnya yang tidak mengenal perbedaan status sosial manusia, Maryani merasa nyaman berada dalam bimbingan spiritual sang kyai. “saya seorang waria yang mengikuti pengajian mujahadah al-fatah yang diadakan oleh pak haji hamroli yang memiliki tiga ribu jamaah lebih, dan ternyata yang waria saya sendiri, kok saya masih diterima”. Tutur Maryani.

Perasaan seperti itulah yang kemudian membuat Maryani tergugah untuk mengajak teman-teman sesama waria dan membuat suatu pengajian khusus untuk waria. Maka, diadakanlah pengajian khusus untuk waria itu pada setiap minggu pon yang juga diasuh oleh kyai Hamrulie. “Yang datang kadang-kadang satu atau dua orang.”

Dalam kesempatan lain, Sonya, salah satu pengurus Ponpes sekaligus Kordinator Divisi Pengorganisasian Komunitas Waria PKBI Yogyakarta yang pada saat itu juga memiliki peranan penting dalam hal advokasi berdirinya pesantren waria menangatakannya dengan sebutan Pondok Pengajian. “Tiap bulan sekali kita melaksanakan pengajian. Nah, pertama kita mengadakan pengajian itu bisa mencapai ratusan jama’ah”, tuturnya dengan nada dan gayanya yang khas. Angka tersebut mungkin berbeda jauh dengan yang dikatakan Maryani. Namun, terlepas dari persoalan angka-angka itu, hal ini jelas mengindikasikan bahwa pengajian sebelumya memang pernah ada.

“Pertama pengajian ini saya adakan di tempat tinggal saya di Surokarsan. Tetapi akhirnya ketika sudah berjalan ekonomi saya hancur total, dan harta saya habis. Dan saya memutuskan untuk kembali ke daerah,” lanjut Maryani. Fenomena tersebut kemudian membuat aktifitas pegajian sempat vakum beberapa saat.

Akan tetapi, tidak lama setelahnya, gempa jogja pada 27 Mei 2006 yang sampai saat ini masih menyisakan duka itu ternyata memberikan cerita lain bagi komunitas waria. Dibalik kisah duka itu, ada sisi cerita lain yang menjadi jembatan sejarah bagi berdirinya pondok pesantren khusus waria senen-kamis. “Dan saya berinisiatif untuk mengajak teman-teman waria dari kota Jakarta, Surabaya dan dari daerah-daerah lainnya untuk berdoa bersama, ternyata banyak yang datang.” Antusias dan solidaritas antar sesama waria pada waktu itu memberikan energi tersendiri bagi orang yang pada masa kecilnya bergama katholik ini. “Akhirnya saya berbicara kepada pak haji hamroli untuk membuka forum pesantren waria, saya mengadakan pengajian khusus waria.”

Tepatnya pada tanggal 8 juli 2008, dibawah dukungan dan advokasi dari PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta Divisi pengorganisasian komunitas waria, Pondok pesantren khusus waria senin-kamis pun diresmikan. “PKBI disini mendorong dan memotivasi tokoh pesantren waria yaitu Bu Maryani untuk bangkit lagi, dan PKBI menginisiasi”, ucap Sonya mantap.

Disini agak terjadi kerancuan antara PKBI (sonya, red.) dan pihak ponpes sendiri ketika ditanya tentang siapa sebenarnya yang mempunyai inisiatif awal karena semuanya sempat sama-sama mengklaim. Namun, berdasarkan penulusuran tim reportase Sinergia, dapat diklasifikasikan bahwa ide awal membangun sebuah pengajian khusus waria dari Maryani dan sang kyai. Akan tetapi ide pelembagaan menjadi sebuah pesantren adalah atas prakarsa dan inisiasi serta dukugan dari PKBI. “Jadi PKBI memang menginisiasi dan memfasilitas”, terang waria asal klaten itu disela-sela wawancara di kediamannya.

Dalam peresmian pondok pesantren yang dari segi penamaannya sarat kontroversial itu, hadir juga beberapa element masyarakat. Termasuk juga didalamnya pejabat pemerintahan dan tentuya Kyai Hamrulie sendiri. “pada waktu itu ada pak Bagus Subarjo anggota DPRD Yogyakarta, dari fraksi golkar”, tandas Maryani.

Sesekali terlihat gadis kecil kesanyangan yang diasuhnya sejak masih berumur 9 jam itu berjalan-jalan didepan kami. Terlihat juga gadis kecil itu sesekali menyempatkan dirinya ke pangkuan Maryani dan Maryani pun mengelus-elus keningnya dengan penuh kasih sayang. Sungguh terlihat jelas kasih sayang diantara mereka. Bak seorang ibu dan anak kandung sendiri. “Untuk lembaga saya sempat berkunjung ke LKiS, Aji Damai, dan mereka pun mendukung. Dan kemudian dari PKBI juga, mereka sangat mendukung sekali. Pernah juga memberikan pelatihan untuk salon dan penyuluhan kesehatan sekaligus cek kesehatan gratis, kan akhir-akhir ini banyak penyakit HIV,” lanjut waria berumur 40 tahun itu sambil mengingat-ingat kembali peristiwa itu.

Seiring perkembangannya, selama 2 tahun berjalan tentu banyak hal-hal yang telah dilalui. Baik itu berupa gejolak-gejolak yang timbul dari eksternal pesantren maupun dari internal pesantren. Dari internal pesantren sendiri pernah sesekali aktifitas pesantren vakum. Penyebabnya, sang kyai pernah “nyeleneh” dari tujuan awal berdirinya pesantren waria sendiri. “Jadi kemarin begini, pak Kyai pernah mengatakan bahwa pesantren ini ditujukan untuk pertobatan.” Cerita Sonya, waria yang masih berumur 26 tahun itu. “Ya kami tidak setuju, kan pesantren ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan teman-teman waria saja, bukan memaksa waria untuk kembali ke kodratnya.” Lanjutnya. (Herman Wahyudi)

*Tulisan ini sudah di publikasikan di Majalah Sinergia LAPMI SINERGI HMI Cabang Yogykarta pada edisi Juli-Agustus 2010

Lihat juga di http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/29/pesantren-waria-realitas-lain-di-balik-gempa-jogja-2006/

Rabu, 19 Januari 2011

SUARA SEORANG AKTIFIS

Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...
Ya, aku tidak peduli siapa dia, korupsi atau tidak, yang terpenting bagiku dia telah berjasa. Tiap saat aku selalu berbikir, kenapa orang-orang selalu sibuk memikirkan siapa dia tentang pemerintah, bukan apa saja jasa dia. Tidakkah orang-orang menyadari, bahwa pemerintah (para penguasa) juga seorang manusia yang memiliki kompleksitas kecenderungan sebagaimana desain Tuhan? Dan arah kecenderungan tersebut bukankah hal yang bersifat manusiawi?
Aku tidak menyalahkan orang-orang diluar sana yang sibuk mengurus kasus korupsi, apalagi membenarkan penguasa yang koruptor, tidak, bukan itu maksudku. Maksudku, jika benar korupsi sudah membudaya atau menjadi epidemi yang sukar disembuhkan, kenapa tidak berpikir untuk konsentrasi pada pemberantasan yang sebenarnya menjadi akar dari pada korupsi? Dan bagi mereka yang (merasa) korup, jika memang menjadi tabi’at atau hobi yang sukar dihilangkan, mengapa tidak berani menjadikan korupsi sebagai motivasi? Ya motivasi, motivasi untuk membangun negeri ini. Bukan mengerogoti negeri bagai rayap, atau mencuri bagai tikus, tapi mencurilah seperti ayam mencuri barang pemiliknya. Sebesar apapun yang dicuri oleh ayam, ujung-ujungnya demi orang yang dia curi juga; biar gemuk dan enak dimakan. Jika bisa seperti itu, aku berpikir rakyat tidaklah keberatan untuk mengikhlaskan korupsi. Tapi sayang beribu sayang, mana ada orang seperti itu sekarang. Hare gini. Pikirku.
Di suatu pagi...
“pemirsa, kasus korupsi oleh pejabat...” zep! “korupsi sebesar...” zep! “markus, atau makelar kasus yang...” zep!...
“kenapa? kenapa kamu ubah terus cahnnelnya?” Tanya temanku, Irfan, agak jengkel sedikit marah karena channelnya aku ubah terus.
“Menurutmu, seberapa pentingkah kasus korupsi kawan...? ” tanyaku. Aku tidak berpikir dia marah atas tingkahku atau tidak, berita memang program favoritnya. Tapi entah mengapa aku seperti sudah mencapai titik kejenuhan. Aku merasa tidak ubahnya seperti saat menonton acara smack down di Lativi dulu. saling bantai semua. Kejam!!! Tapi siapa yang kejam? Dan siapa yang dikejamin? Semuanya mencari kambing hitam seolah hendak berkata secara angkuh Dialah yang bersalah, dan Akulah kebenaran itu.
Sepertinya Irfan masih mencari-cari jawaban tentang apa sebenarnya maksud dari pertanyaanku. Mungkin dia berfikir kok bisa aku yang dia anggap aktifis bertanya semacam itu. Bukankah kasus korupsi saat ini menempati posisi tertinggi di negara kita dan bisa menjadi bahan orasi lapangan ketika demo. Namun, sebelum Irfan sempat memberikan komentar, akupun sudah mendahuluinya.
“Apa arti korupsi, jika bisa menjadikan negara ini mampu berdiri kokoh diantara negara-negara lain? Apa arti korupsi, jika dengan korupsi pemerintah mampu ‘merawat’ negeri ini dengan baik? Apa pula arti korupsi, jika korupsi menjadi faktor utama yang mampu memotivasi para penguasa untuk memajukan negeri ini? Korupsi hanya perkara kecil untuk ukuran negeri kaya ini kawan... Yang penting, pemerintah bisa mejalankan tugas utama mereka menjadi wakil yang benar-benar mewakili rakyat”. Tapi, benarkah mereka bisa? Benarkah”? batinku menentang.
“eh, aku pergi dulu kawan, sampai jumpa!”
“mau kemana? Tunggu dulu aku belummm... akuu...wooy...!!!”
Akupun pergi meninggalkan Irfan tanpa menghiraukan pertanyaan dan komentar balik dari dia. aku tidak mengerti kenapa sekarang bisa setega ini pada dia. Meninggalkannya secara mendadak sementara hasrat hendak berkomentar balik. sungguh tidak biasa. Di hari biasanya, setiap aku mengajak Irfan bicara atau diskusi, berjam-jampun bisa terjadi. Tapi kali ini? entahlah. Pikirku.
* * *
Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...
Ya, aku tidak peduli siapa dia, artis atau bukan, cacat moral atau tidak, yang terpenting bagiku dia bisa kenapa tidak. Negeri ini bukan persoalan agama yang perlu syarat muluk-muluk. Negeri ini butuh orang yang bisa, bukan orang yang biasa. Biasa bergelut di dunia politik, atau biasa bergelut di dunia yang sehat moral bukan berarti bisa menjadi jaminan masa depan negeri ini.
Orang boleh mengatakan, pemilu saat ini diwarnai politik demam artis, politik asal-asalan yang berlandaskan pada realitas siapa bisa mencalonkan siapa. Sekalipun siapa tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. ini merupakan suatu kondisi dimana nilai-nilai daripada demokrasi sudah mulai dilacurkan. Mungkin itu benar, tapi haruskah dipermulutkan? pemimpin nergeri ini bukanlah persoalan siapa berlatar belakang apa, tapi siapa bisa berbuat apa. Apa yang bisa diperbuat bukanlah persoalan latar belakang. Latar belakang bukan masalah besar yang perlu diperdebatkan. Masalah besar kita yang sesungguhnya adalah terletak seberapa bisa kita tidak saling ‘membantai’.
Hiruk pikuk kerumunan massa ku lihat terjadi persis 50 meter di depan tempatku berjalan, perempatan Kantor Pos besar Yogyakarta. Unjuk rasa, ya saya kira unjuk rasa lagi. Perempatan Kantor Pos besar Yogyakarta memang menjadi tempat favorit para Mahasiswa dalam melakukan aksi komunikasi politiknya, unjuk rasa. Selain ramai, disana juga merupakan tempat strategis dimana banyak pekerja media nongkrong. Sangat cocok untuk efektifitas orasi mahasiswa yang berdemo. Karena dengan sorotan media, tidak hanya di yogyakarta, seluruh indonesiapun dapat mendengarkan ‘suara mahasiswa’ tersebut. Perlahan tapi pasti, aku mencoba mendekati kerumunan Mahasiswa itu, ingin tahu isu-isu apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan.
“...Kami, sebagai mahasiswa dan sebagai rakyat indonesia mengutuk para koruptor, Markus...” “...Alangkah ironis negeri ini, disaat krisis moral melanda seluruh aparatur negara, para partai Politik dengan pe-de-nya mengusung figur-figur calon pememimpin penyandang cacat Moral...” dengan berapi-api dan semangat kepemudaan ku dengar suara salah seorang pemuda penyampaikan orasinya. Panasnya terik Matahari siang seakan tidak berarti sama sekali dibanding api semangat yang sedang berkobar di tubuh sang pemuda itu. Begitu pula massa, terus bersorak-sorai sambil mengamini apa yang disampaikan oleh sang orator. Huuh...isu itu lagi. tiadakah yang lebih penting dan berguna yang dapat dilakukan?
Sudah cukup tahu tentang aksi yang mereka lakukan. Akupun pergi berjalan menyusuri Alun alun utara Kota Yogyakarta yang terletak persis disebelah selatan Kantor Pos besar. Entah apa yang ku cari disana, akupun tak mengerti. Hasratku cuma ingin berjalan, berjalan, dan berjalan. Barangkali ku bisa menemukan sesuatu yang lebih baik dari pada sekedar mendengarkan hiruk pikuk isu-isu perpolitikan negara yang begitu menjenuhkan. Politik kambing hitam yang saling membantai, sampai kapan? Entah sampai titik mana keadaan ini akan berhenti.
Sudah komplit penyakit yang diderita negeri ini. Oh, kasihan kau Indonesia, tanah airku, tanah kelahiranku... Engkau gemuk, tapi engkau dibuat kurus dalam kegemukan itu. Engkau sebenarnya bisa memberikan sebanyak mungkin yang kita butuhkan, tapi engkau telah dipaksa untuk tidak memberikan itu. sesalku dalam hati. Tapi apa yang bisa ku perbuat? Orang bilang aku aktifis, namun haruskah terbebani dengan isu-isu politik yang sebenarnya akan semakin menyeret kita pada jurang kebobrokan moral yang lebih dalam lagi? Ya, akan lebih dalam lagi. Masyarakat akan semakin pandai, Mahasiswapun, bibit unggul bangsa akan semakin pandai. pandai ‘berpolitik’, pandai menipu, pandai menjadi markus, dan pandai-pandai tidak terpuji lainnya.
Lelah berjalan, ku cari tempat berteduh di sekitar alun-alun. Celingak-celinguk kiri kanan, akhirnya disebuah pohon besar aku berhenti, dan duduk beristirahat dibawahnya, teduh sekali. beberapa menit berlalu, aku hanya terdiam beristirahat tanpa berbuat apa-apa. Karena ku rasakan begitu hampa, ku keluarkan balpoint dan beberapa lembar kertas yang biasa ku bawa dalam beraktifitas sehari-hari. Aku tulis apa saja yang terlintas dalam pikiranku saat ini, aku tulis apa saja yang hendak ku curhatkan pada lembaran-lembaran kertas putih ini. Aku lampiaskan seluruhnya, ya, aku lampiaskan. Hingga tanpa terasa tulisan-tulisan tersebut sudah membentuk sebuah tulisan opini yang kalau diketik ke komputer aku perkirakan 3.000 sampai 4.000-an karakter. Aku hampir tidak menyangka, biasanya aku butuh berjam-jam untuk nulis serampung ini. Ya sekalipun belum sempurna.
Melihat sinar mentari sudah mulai semakin petang, aku bergegas hendak pulang. Ya, aku harus pulang. Aku harus mengetik tulisan ini, aku harus ketik. Dan tentunya, harus ku kirim ke Media, ya harus ku kirim, dan harus dimuat, harus. Ini suaraku, suara seorang aktifis yang sudah jenuh dengan hiruk pikuk percaturan politik yang begitu menjenuhkan. Masyarakat harus memikirkan hal-hal yang lebih penting. Masih banyak ‘dimensi lain’ dari negeri ini yang lebih penting untuk dipikirkan. Pendidikan, anak-anak, dan..dan...ya masih banyak. Pikirku bergejolak. Namun... bruaaaakkkkkkkkk!!!
Sakit, sakit sekali, kepalaku berputar, semuanya terasa berat, berat. Ku pandangi sekitar, samar-samar ku lihat banyak orang, banyak sekali. Terasa diriku seakan hanya menyisakan nafas yang tidak cukup untuk mengeluarkan banyak suara. Ku pengang tangan salah seorang kerumunan yang entah siapa dia. Aku tidak jelas melihatnya. Aku ingin mengungkapkan sesuatu, aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku sudah tidak kuasa lagi, hingga akhirnya...perlahan terasa berat, semakin gelap, hingga... Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...gelap.


* * *
Yogyakarta, 29 April 2010
Herman Wahyudi