Memasuki umur yang semakin senja, nampaknya, HMI masih belum bisa terlepas dari sederet isu hubungannya dengan eksistensi kader dan independensi. Keterlibatan kader dalam politik praktis seolah menjadi satu topik persoalan tahunan yang tak pernah usang untuk diperbincangkan. Ujungnya, menyoal kembali “sakralitas” independensi di HMI.
Mendekati pelaksanaan kongres HMI XXVII yang akan direalisasikan beberapa bulan kedepan, isu-isu independensi dan politik praktis yang bersumberkan virus pragmatisme tersebut sudah seyogiyanya menjadi perhatian utama bagi HMI. Lebih-lebih, bila HMI masih memiliki sejumlah daftar mimpi-mimpi besar yang hendak diraih. Baik itu dilakukan dengan cara merenovasi konsep ideologisasi di HMI secara umum, atau bahkan –kalau perlu “merombak” kembali bangunan independensi.
Jelas, melihat realitas kader HMI yang sekarang cenderung praktis; menganggap organisasi hanya sebagai sebuah “kantor pos” yang siap mengantar surat ke berbagai tempat tujuan pragmatis kader, Organisasi berbendera Hijau Hitam ini mengalami krisis idealisme. Sehingga yang ada dan berkembang dalam pola pikir kader zaman sekarang bukan lagi bagaimana menjunjung tinggi apalagi membesarkan HMI seperti pada “zaman”nya. Melainkan, bagaimana dia (baca; kader HMI) bisa menjadi seperti abang-abangnya yang sudah duduk manis di luar sana. Tentunya secara serba praktis.
Independensi seperti termaktub dalam AD HMI pasal 6 merupakan manifestasi-normatif dari upaya sterilisasi gerakan-gerakan HMI dalam memperjuangkan visi-misinya. Sebagai kader ideal yang berdarah hijau hitam, independensi tentu menjadi roh utama sebagai idelisme dari segala aktifitas pergerakan di HMI. Karena pergerakan tanpa idealisme adalah kering nilai. Ketika ini terus terjadi, maka pertanyaan bagi HMI, mau dibawa kemana organisasi ini?
Demikian merupakan fenomena memperihatinkan yang tidak akan teratasi dengan hanya sebatas perang wacana antar kader HMI. Begitu banyak kampus-kampus yang perlu untuk di hijau hitamkan. Sementara HMI masih sekarat dengan penyakit pragmatismenya. Jangankan berpikir menjadikan kampus hijau hitam, mengurus kaderisasi di komisariat-komisariat saja terkadang masih belum bisa –untuk tidak mengatakan tidak– terlepas dari hitungan-hitungan pragmatis.
Oleh karena itu, saatnya HMI meraih cita-cita dengan “mempertegas” kembali independensinya atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, independensi dihapus dari kitab suci AD HMI. Karena, apalah arti sebuah aturan jika tidak memiliki kekuatan secara normatif (nilai-nilai sakralitas) dimata kader. Sebuah aturan tentu tidak dibuat bukan untuk membuat kader “murtad” terhadapnya. Melainkan untuk dijalankan sebagai khittah organisasi (baca; HMI).
Mungkin, yang dapat dikatakan, lebih baik tanpa independensi dari pada mempertahankan tradisi “murtad” terhadap organisasi. Tradisi murtad tidak akan dapat memberi nilai-nilai terhadap sebuah pergerakan. Melainkan, hanya dapat menjadi virus bagi eksistensi organisasi HMI. Yang lama-kelamaan akan mengakibatkan pada matinya organisasi ditelan kuatnya arus idelisme organisasi-organisasi lain. Sehingga, HMI pun hanya akan menjadi sejarah panjang yang melelahkan dari seorang Lafran Pane.
Sebagai kata akhir, independensi tidaklah lebih dari –meminjam bahasa Sudarsono– sebatas iklan jika pada hakekatnya tidak memiliki kekuatan nomatif. Dan tentang bagaimana memiliki kekuatan secara normatif tersebut –mau tidak mau– dengan pula mempertegas secara teknis aturan main independensi itu sendiri jika HMI masih punya mimpi.(Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar