Minggu, 23 Januari 2011

Dari Hitam Ke Putih, Menuju Rekonsiliasi Sejarah G 30 S

Oleh:
Herman Wahyudi

Sekilas G 30 S dan kontroversi sejarah

Adakalanya, ketika kita mengingat istilah Gerakan 30 september (G 30 S/PKI) –hampir pasti– yang terbayang dalam pikiran kita adalah tragedi pembantaian tujuh orang jenderal di Lubang Buaya. Mereka adalah Jenderal TNI A.H. Nasution, Letjen A. Yani, Mayjen TNI Haryono M.T., Mayjen TNI Soeprapto, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Mayjen TNI S. Parman, dan Brigjen TNI Sutojo S.
Berbagai analisis, spekulasi sejarah, dan (bahkan) asumsi tentang siapa dalang dibalik peristiwa tersebut hingga kini masih kontroversi. Namun, terlepas dari itu semua, tentulah kita sepakat bahwa tragedi tersebut masih menyisakan misteri dan luka sejarah mendalam bagi bangsa Indonesia. Khususnya bagi mereka yang terkena efek sejarah politis ala orde baru (baca; Suharto).
Yang perlu diperhatikan, membicarakan peristiwa G 30 S, berarti kita tidak sedang fokus hanya pada pembantaian tujuh orang jenderal di Lubang Buaya. Melainkan kita juga membicarakan penumpasan besar-besaran Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Suharto, pun Surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Dalam artian, membicarakan G 30 S, ibarat mempelajari rangkaian teks skenario drama yang kita tidak boleh melewatkan satu kalimat pun dari pada teks skenario itu. Dengan Supersemar, Suharto memproklamirkan diri sebagai orang yang berwenang –bahkan melampaui presiden Sukarno. Dan setelah peristiwa G 30 S pecah, dengan Supersemar (versi) nya, Soeharto melakukan aksi yang populer dimata rakyat, yaitu membubarkan PKI. Sayangnya, langkah itu semata-mata politis –untuk melakukan kudeta terhadap presiden Sukarno yang notabene PKI pada waktu itu merupakan kekasih politik presiden Sukarno dengan ide Nasakomnya. Sebab secara kongkret, aksi pembantaian terhadap orang-orang komunis sudah dilakukan dalam triwulan terakhir tahun 1965, yang secara efektif sudah membuat PKI rata dengan tanah, dan tidak lagi memiliki kekuatan potensial sebagai rival politik AD. Demikian tentang Supersemar.
Terkait G 30 S serta penumpasan PKI, sangat tidak efektif kiranya jika saya harus medeskripsikan kembali sekenario berdarah itu. Karena, sudah banyak buku-buku sejarah dari berbagai versi yang mendeskripsikannya secara lebih komprehensif. Akan tetapi, sedikit pula saya akan ikut terjun dalam misteri (siapa dalang?) yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar bagi bangsa Indonesia, sekedar memutar rekam jejak sepintas beberapa pelaku sejarah sebagai bahan refleksi.
Bahwa, pertama, Sukarno pernah disebut terlibat dalam G 30 S, akan tetapi terbantahkan oleh fakta ideologi Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang mengindikasikan tidak mungkinnya Sukarno menghendaki penumpasan PKI. Kedua, keterlibatan Suharto seperti disebut-sebut oleh banyak orang pasca runtuhnya Orde Baru (Orba), dalam tulisan Mayjen. (Purn.) juga disangsikan kebenarannya. Oleh karena tidak ada data-data akurat yang menyebut Suharto dalang dibalik G 30 S. Dokumen yang dimunculkan hanya berupa dugaan-dugaan yang bersifat samar, tidak dapat dibuktikan dengan kata-kata yang mendukung, dan sifatnya dianalogikan (Mayjen, Purn. Samsudin, Mengapa G 30 S/PKI Gagal? Suatu Analisis, hal.143). Dan nama-nama lain seperti DN Aidit (ketua PKI), para Jenderal AURI, AD dan bahkan pihak asing CIA (Centre of Intelegence Agency), pun juga disebut-sebut sebagai dalang G 30 S.
Atau –dalam pandangan yang lebih netral– sebetulnya tidak ada perancang tunggal dibalik tragedi 30 September 1965? Versi ini didasarkan pada teori chaos dan ketidakberaturan. Tidak ada pelaku tunggal di balik tragedi tersebut, melainkan pelaku-pelaku yang mengail di air keruh untuk kepentingan politiknya sendiri (Saksi dan pelaku GESTAPU Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, hal.xiv)
Memang, pasca tumbangnya Orba pada tahun 1998 (baca; era reformasi), banyak fakta sejarah –jika hal itu diklaim sebagai fakta– yang mengungkap tabir dibalik tragedi ’65. Banyak para pelaku dan korban sejarah yang “buka mulut” terkait tragedi itu. Sekalipun kita tidak dapat memungkiri adanya berbagai macam bumbu kepentingan (baca; pro-kontra) yang mendasarinya. Namun demikian, pada hakekatnya, versi Orba lah yang paling kuat. Karena suplay buku-buku pelajaran sejarah banyak didominasi oleh versi Orba. Plus suguhan Film (versi Orba) berjudul Penghianatan G 30 S/PKI yang biasa diputar tiap malam 30 september disiaran televisi nasional TVRI hingga berakhirnya masa Orba itu sendiri.
Maka benar seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam kata pegantarnya bahwa history is what the ruler inseribes, Sejarah adalah apa yang digoreskan oleh penguasa. Dalam pemahaman, bahwa sejarah sangat erat kaitannya dengan kekuasaan. Bahwa sejarah (baca; G 30 S), disadari atau tidak, selama tiga dekade lebih menjadi kombinasi utuh penguasa Orde baru. Inilah sebenarnya bongkahan luka yang perlu kita sembuhkan sebagai seorang pemuda penggerak bangsa.

Memulai dengan “Memutihkan Sejarah” G 30 S.

Nampaknya, dalam konteks rekonsiliasi sejarah, adagium nasi sudah menjadi bubur pun harus kita jadikan sebagai dasar pijakan utama. Untuk menghindari terjadinya bongkahan luka sejarah baru bagi bangsa indonesia. Dengan kata lain, tulisan sederhana ini tidak dimaksudkan untuk ikut-ikutan beramsumsi tentang siapa dalang dibalik G 30 S. Biarlah saksi bisu sejarah yang mengabadikan fakta itu dengan “cara”nya sendiri.
Tugas kita sebagai generasi muda hanya berada pada kisaran bagaimana menetralisir kepentingan politis dari pada sejarah G 30 S. Pada prakteknya, harus ada rekonstruksi sejarah yang menghadirkan beragam versi kedalam satu kesatuan utuh sejarah bangsa. Semisal perombakan besar-besaran terhadap buku-buku sejarah yang selama ini telah membentuk pemahaman bangsa tentang G 30 S sesuai selera Orba. Pun, kalau perlu memutar kembali Film sejarah G 30 tiap malam tanggal 30 September dengan versi terbaru yang lebih netral hasil rekonstruksi sejarah yang bersifat kolektif.
Dengan demikian, Luka sejarah akan terobati tanpa harus menghadirkan bongkahan luka baru bagi bangsa Indonesia. Inilah yang penulis sebut dengan “memutihkan sejarah”. Kenapa memutihkan? Karena sejarah G 30 S telah lama di hitamkan oleh kediktatoran rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.

Daftar Pustaka
http://www.dhaniels.com/2010/10/apa-kabar-film-g30spki-pengkhianatan-g.html
Lesmana, Surya, dkk. 2005, Saksi dan pelaku GESTAPU Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, Cet. Kedua, Media Pressindo, Yogyakarta.
Samsudin, Mayjen. (Purn.), 2005, Mengapa G 30 S/PKI Gagal? Suatu Analisis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, cetakan kedua, Menteri Sekretaris Negara, Jakarta.
Soetrisno, Slamet, 2006, Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah, Cet. III (edisi revisi), Media Pressindo, Yogyakarta.
Tim Lembaga Analisis Informasi, 2007, Kontoversi Supersemar dalam transisi kekuasaan Soekarno-Soeharto, Cet. Kesepuluh (edisi revisi), Media Pressindo, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar