Jumat, 21 Januari 2011

Pesantren Waria; Realitas Lain di Balik Gempa Jogja 2006


Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis, begitulah yang tertulis pada plang sebuah bagunan yang tidak lain adalah sentral kegiatan beribadah komunitas waria. Secara geografis, Letaknya berada di sebelah timur tidak jauh dari Pusat perbelanjaan Malioboro. Tepatnya di Desa Notoyudan Gg II/1294, RT 85 RW 24 Gedongtengen Yogyakarta.

Dari pinggir jalan raya Letjend Suprapto, posisi bangunan itu terlihat seperti layaknya rumah biasa. Menghadap ke utara dengan arsitektur ala rumah pribadi. Tidak ada suatu ciri khas yang mengidentikkan bangunan tersebut sebuah Pondok Pesantren, dimana kegiatan keagamaan kaum waria berpusat disana. Terkecuali hanya sebatas plang bermaterikan gabus dengan kombinasi warna kuning-hijau-merah sebagai sebuah penanda.

Jalur Jalan berupa gang sempit dan posisi yang agak menurun sekitar 1,5 meter ke bawah membuat reporter Sinergia harus ekstra pelan dan hati-hati dalam mengendarai motor ke area lokasi Ponpes. Tidak sampai 10 meter dari mulut jalan raya, pas dibibir turunan jalan, posisi kami sudah persis di depan podok pesantren.

Melihat pintu rumah itu (pesantren, red.) terbuka, kamipun langsung mengetuk pintu. Hampir 3 menit menunggu dan 3 kali mengetuk pintu, terlihat gadis kecil kira-kira berumur 9 tahunan keluar dari dalam rumah seraya menyapa dengan lembut, “cari Ibu ya mas?”. Walau mulanya agak sedikit ragu dengan kata “ibu” tadi, akhirnya kami pun lantas menyahut “iya dek, ada?”, “bentar ya mas”.

Kemudian terdengar suara gadis kecil itu memanggil seseorang dengan sebutan Ibu. Selang 1 menit, sesosok bertubuh besar dan berpenampilan serba feminine pun keluar dari dalam. Itulah mungkin jawaban dari kata “ibu” tadi, yang tidak lain adalah Maryani. Pendiri sekaligus pengasuh Pondok pesantren khusus waria itupun menyapa dan mempersilahkan kami masuk.

Dengan santai kamipun memulai perbincangan. Sekeliling ruangan terlihat atribut-atribut islam seperti kaligrafi dan juga ada foto seorang laki-laki dengan kopyah putih kokoh bersurban serta disampingnya ada seorang perempuan yang menurut keterangan Maryani tidak lain adalah KH. Hamrulie Harun, M.Sc. beserta istriya.

Beliau adalah figur kyai idola kaum waria yang telah menginspirasi berdirinya pondok pesantren khusus waria senin-kamis. Lewat Pengajian mujahadah al-Fatahnya yang tidak mengenal perbedaan status sosial manusia, Maryani merasa nyaman berada dalam bimbingan spiritual sang kyai. “saya seorang waria yang mengikuti pengajian mujahadah al-fatah yang diadakan oleh pak haji hamroli yang memiliki tiga ribu jamaah lebih, dan ternyata yang waria saya sendiri, kok saya masih diterima”. Tutur Maryani.

Perasaan seperti itulah yang kemudian membuat Maryani tergugah untuk mengajak teman-teman sesama waria dan membuat suatu pengajian khusus untuk waria. Maka, diadakanlah pengajian khusus untuk waria itu pada setiap minggu pon yang juga diasuh oleh kyai Hamrulie. “Yang datang kadang-kadang satu atau dua orang.”

Dalam kesempatan lain, Sonya, salah satu pengurus Ponpes sekaligus Kordinator Divisi Pengorganisasian Komunitas Waria PKBI Yogyakarta yang pada saat itu juga memiliki peranan penting dalam hal advokasi berdirinya pesantren waria menangatakannya dengan sebutan Pondok Pengajian. “Tiap bulan sekali kita melaksanakan pengajian. Nah, pertama kita mengadakan pengajian itu bisa mencapai ratusan jama’ah”, tuturnya dengan nada dan gayanya yang khas. Angka tersebut mungkin berbeda jauh dengan yang dikatakan Maryani. Namun, terlepas dari persoalan angka-angka itu, hal ini jelas mengindikasikan bahwa pengajian sebelumya memang pernah ada.

“Pertama pengajian ini saya adakan di tempat tinggal saya di Surokarsan. Tetapi akhirnya ketika sudah berjalan ekonomi saya hancur total, dan harta saya habis. Dan saya memutuskan untuk kembali ke daerah,” lanjut Maryani. Fenomena tersebut kemudian membuat aktifitas pegajian sempat vakum beberapa saat.

Akan tetapi, tidak lama setelahnya, gempa jogja pada 27 Mei 2006 yang sampai saat ini masih menyisakan duka itu ternyata memberikan cerita lain bagi komunitas waria. Dibalik kisah duka itu, ada sisi cerita lain yang menjadi jembatan sejarah bagi berdirinya pondok pesantren khusus waria senen-kamis. “Dan saya berinisiatif untuk mengajak teman-teman waria dari kota Jakarta, Surabaya dan dari daerah-daerah lainnya untuk berdoa bersama, ternyata banyak yang datang.” Antusias dan solidaritas antar sesama waria pada waktu itu memberikan energi tersendiri bagi orang yang pada masa kecilnya bergama katholik ini. “Akhirnya saya berbicara kepada pak haji hamroli untuk membuka forum pesantren waria, saya mengadakan pengajian khusus waria.”

Tepatnya pada tanggal 8 juli 2008, dibawah dukungan dan advokasi dari PKBI (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta Divisi pengorganisasian komunitas waria, Pondok pesantren khusus waria senin-kamis pun diresmikan. “PKBI disini mendorong dan memotivasi tokoh pesantren waria yaitu Bu Maryani untuk bangkit lagi, dan PKBI menginisiasi”, ucap Sonya mantap.

Disini agak terjadi kerancuan antara PKBI (sonya, red.) dan pihak ponpes sendiri ketika ditanya tentang siapa sebenarnya yang mempunyai inisiatif awal karena semuanya sempat sama-sama mengklaim. Namun, berdasarkan penulusuran tim reportase Sinergia, dapat diklasifikasikan bahwa ide awal membangun sebuah pengajian khusus waria dari Maryani dan sang kyai. Akan tetapi ide pelembagaan menjadi sebuah pesantren adalah atas prakarsa dan inisiasi serta dukugan dari PKBI. “Jadi PKBI memang menginisiasi dan memfasilitas”, terang waria asal klaten itu disela-sela wawancara di kediamannya.

Dalam peresmian pondok pesantren yang dari segi penamaannya sarat kontroversial itu, hadir juga beberapa element masyarakat. Termasuk juga didalamnya pejabat pemerintahan dan tentuya Kyai Hamrulie sendiri. “pada waktu itu ada pak Bagus Subarjo anggota DPRD Yogyakarta, dari fraksi golkar”, tandas Maryani.

Sesekali terlihat gadis kecil kesanyangan yang diasuhnya sejak masih berumur 9 jam itu berjalan-jalan didepan kami. Terlihat juga gadis kecil itu sesekali menyempatkan dirinya ke pangkuan Maryani dan Maryani pun mengelus-elus keningnya dengan penuh kasih sayang. Sungguh terlihat jelas kasih sayang diantara mereka. Bak seorang ibu dan anak kandung sendiri. “Untuk lembaga saya sempat berkunjung ke LKiS, Aji Damai, dan mereka pun mendukung. Dan kemudian dari PKBI juga, mereka sangat mendukung sekali. Pernah juga memberikan pelatihan untuk salon dan penyuluhan kesehatan sekaligus cek kesehatan gratis, kan akhir-akhir ini banyak penyakit HIV,” lanjut waria berumur 40 tahun itu sambil mengingat-ingat kembali peristiwa itu.

Seiring perkembangannya, selama 2 tahun berjalan tentu banyak hal-hal yang telah dilalui. Baik itu berupa gejolak-gejolak yang timbul dari eksternal pesantren maupun dari internal pesantren. Dari internal pesantren sendiri pernah sesekali aktifitas pesantren vakum. Penyebabnya, sang kyai pernah “nyeleneh” dari tujuan awal berdirinya pesantren waria sendiri. “Jadi kemarin begini, pak Kyai pernah mengatakan bahwa pesantren ini ditujukan untuk pertobatan.” Cerita Sonya, waria yang masih berumur 26 tahun itu. “Ya kami tidak setuju, kan pesantren ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan teman-teman waria saja, bukan memaksa waria untuk kembali ke kodratnya.” Lanjutnya. (Herman Wahyudi)

*Tulisan ini sudah di publikasikan di Majalah Sinergia LAPMI SINERGI HMI Cabang Yogykarta pada edisi Juli-Agustus 2010

Lihat juga di http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/29/pesantren-waria-realitas-lain-di-balik-gempa-jogja-2006/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar