Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...
Ya, aku tidak peduli siapa dia, korupsi atau tidak, yang terpenting bagiku dia telah berjasa. Tiap saat aku selalu berbikir, kenapa orang-orang selalu sibuk memikirkan siapa dia tentang pemerintah, bukan apa saja jasa dia. Tidakkah orang-orang menyadari, bahwa pemerintah (para penguasa) juga seorang manusia yang memiliki kompleksitas kecenderungan sebagaimana desain Tuhan? Dan arah kecenderungan tersebut bukankah hal yang bersifat manusiawi?
Aku tidak menyalahkan orang-orang diluar sana yang sibuk mengurus kasus korupsi, apalagi membenarkan penguasa yang koruptor, tidak, bukan itu maksudku. Maksudku, jika benar korupsi sudah membudaya atau menjadi epidemi yang sukar disembuhkan, kenapa tidak berpikir untuk konsentrasi pada pemberantasan yang sebenarnya menjadi akar dari pada korupsi? Dan bagi mereka yang (merasa) korup, jika memang menjadi tabi’at atau hobi yang sukar dihilangkan, mengapa tidak berani menjadikan korupsi sebagai motivasi? Ya motivasi, motivasi untuk membangun negeri ini. Bukan mengerogoti negeri bagai rayap, atau mencuri bagai tikus, tapi mencurilah seperti ayam mencuri barang pemiliknya. Sebesar apapun yang dicuri oleh ayam, ujung-ujungnya demi orang yang dia curi juga; biar gemuk dan enak dimakan. Jika bisa seperti itu, aku berpikir rakyat tidaklah keberatan untuk mengikhlaskan korupsi. Tapi sayang beribu sayang, mana ada orang seperti itu sekarang. Hare gini. Pikirku.
Di suatu pagi...
“pemirsa, kasus korupsi oleh pejabat...” zep! “korupsi sebesar...” zep! “markus, atau makelar kasus yang...” zep!...
“kenapa? kenapa kamu ubah terus cahnnelnya?” Tanya temanku, Irfan, agak jengkel sedikit marah karena channelnya aku ubah terus.
“Menurutmu, seberapa pentingkah kasus korupsi kawan...? ” tanyaku. Aku tidak berpikir dia marah atas tingkahku atau tidak, berita memang program favoritnya. Tapi entah mengapa aku seperti sudah mencapai titik kejenuhan. Aku merasa tidak ubahnya seperti saat menonton acara smack down di Lativi dulu. saling bantai semua. Kejam!!! Tapi siapa yang kejam? Dan siapa yang dikejamin? Semuanya mencari kambing hitam seolah hendak berkata secara angkuh Dialah yang bersalah, dan Akulah kebenaran itu.
Sepertinya Irfan masih mencari-cari jawaban tentang apa sebenarnya maksud dari pertanyaanku. Mungkin dia berfikir kok bisa aku yang dia anggap aktifis bertanya semacam itu. Bukankah kasus korupsi saat ini menempati posisi tertinggi di negara kita dan bisa menjadi bahan orasi lapangan ketika demo. Namun, sebelum Irfan sempat memberikan komentar, akupun sudah mendahuluinya.
“Apa arti korupsi, jika bisa menjadikan negara ini mampu berdiri kokoh diantara negara-negara lain? Apa arti korupsi, jika dengan korupsi pemerintah mampu ‘merawat’ negeri ini dengan baik? Apa pula arti korupsi, jika korupsi menjadi faktor utama yang mampu memotivasi para penguasa untuk memajukan negeri ini? Korupsi hanya perkara kecil untuk ukuran negeri kaya ini kawan... Yang penting, pemerintah bisa mejalankan tugas utama mereka menjadi wakil yang benar-benar mewakili rakyat”. Tapi, benarkah mereka bisa? Benarkah”? batinku menentang.
“eh, aku pergi dulu kawan, sampai jumpa!”
“mau kemana? Tunggu dulu aku belummm... akuu...wooy...!!!”
Akupun pergi meninggalkan Irfan tanpa menghiraukan pertanyaan dan komentar balik dari dia. aku tidak mengerti kenapa sekarang bisa setega ini pada dia. Meninggalkannya secara mendadak sementara hasrat hendak berkomentar balik. sungguh tidak biasa. Di hari biasanya, setiap aku mengajak Irfan bicara atau diskusi, berjam-jampun bisa terjadi. Tapi kali ini? entahlah. Pikirku.
* * *
Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...
Ya, aku tidak peduli siapa dia, artis atau bukan, cacat moral atau tidak, yang terpenting bagiku dia bisa kenapa tidak. Negeri ini bukan persoalan agama yang perlu syarat muluk-muluk. Negeri ini butuh orang yang bisa, bukan orang yang biasa. Biasa bergelut di dunia politik, atau biasa bergelut di dunia yang sehat moral bukan berarti bisa menjadi jaminan masa depan negeri ini.
Orang boleh mengatakan, pemilu saat ini diwarnai politik demam artis, politik asal-asalan yang berlandaskan pada realitas siapa bisa mencalonkan siapa. Sekalipun siapa tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. ini merupakan suatu kondisi dimana nilai-nilai daripada demokrasi sudah mulai dilacurkan. Mungkin itu benar, tapi haruskah dipermulutkan? pemimpin nergeri ini bukanlah persoalan siapa berlatar belakang apa, tapi siapa bisa berbuat apa. Apa yang bisa diperbuat bukanlah persoalan latar belakang. Latar belakang bukan masalah besar yang perlu diperdebatkan. Masalah besar kita yang sesungguhnya adalah terletak seberapa bisa kita tidak saling ‘membantai’.
Hiruk pikuk kerumunan massa ku lihat terjadi persis 50 meter di depan tempatku berjalan, perempatan Kantor Pos besar Yogyakarta. Unjuk rasa, ya saya kira unjuk rasa lagi. Perempatan Kantor Pos besar Yogyakarta memang menjadi tempat favorit para Mahasiswa dalam melakukan aksi komunikasi politiknya, unjuk rasa. Selain ramai, disana juga merupakan tempat strategis dimana banyak pekerja media nongkrong. Sangat cocok untuk efektifitas orasi mahasiswa yang berdemo. Karena dengan sorotan media, tidak hanya di yogyakarta, seluruh indonesiapun dapat mendengarkan ‘suara mahasiswa’ tersebut. Perlahan tapi pasti, aku mencoba mendekati kerumunan Mahasiswa itu, ingin tahu isu-isu apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan.
“...Kami, sebagai mahasiswa dan sebagai rakyat indonesia mengutuk para koruptor, Markus...” “...Alangkah ironis negeri ini, disaat krisis moral melanda seluruh aparatur negara, para partai Politik dengan pe-de-nya mengusung figur-figur calon pememimpin penyandang cacat Moral...” dengan berapi-api dan semangat kepemudaan ku dengar suara salah seorang pemuda penyampaikan orasinya. Panasnya terik Matahari siang seakan tidak berarti sama sekali dibanding api semangat yang sedang berkobar di tubuh sang pemuda itu. Begitu pula massa, terus bersorak-sorai sambil mengamini apa yang disampaikan oleh sang orator. Huuh...isu itu lagi. tiadakah yang lebih penting dan berguna yang dapat dilakukan?
Sudah cukup tahu tentang aksi yang mereka lakukan. Akupun pergi berjalan menyusuri Alun alun utara Kota Yogyakarta yang terletak persis disebelah selatan Kantor Pos besar. Entah apa yang ku cari disana, akupun tak mengerti. Hasratku cuma ingin berjalan, berjalan, dan berjalan. Barangkali ku bisa menemukan sesuatu yang lebih baik dari pada sekedar mendengarkan hiruk pikuk isu-isu perpolitikan negara yang begitu menjenuhkan. Politik kambing hitam yang saling membantai, sampai kapan? Entah sampai titik mana keadaan ini akan berhenti.
Sudah komplit penyakit yang diderita negeri ini. Oh, kasihan kau Indonesia, tanah airku, tanah kelahiranku... Engkau gemuk, tapi engkau dibuat kurus dalam kegemukan itu. Engkau sebenarnya bisa memberikan sebanyak mungkin yang kita butuhkan, tapi engkau telah dipaksa untuk tidak memberikan itu. sesalku dalam hati. Tapi apa yang bisa ku perbuat? Orang bilang aku aktifis, namun haruskah terbebani dengan isu-isu politik yang sebenarnya akan semakin menyeret kita pada jurang kebobrokan moral yang lebih dalam lagi? Ya, akan lebih dalam lagi. Masyarakat akan semakin pandai, Mahasiswapun, bibit unggul bangsa akan semakin pandai. pandai ‘berpolitik’, pandai menipu, pandai menjadi markus, dan pandai-pandai tidak terpuji lainnya.
Lelah berjalan, ku cari tempat berteduh di sekitar alun-alun. Celingak-celinguk kiri kanan, akhirnya disebuah pohon besar aku berhenti, dan duduk beristirahat dibawahnya, teduh sekali. beberapa menit berlalu, aku hanya terdiam beristirahat tanpa berbuat apa-apa. Karena ku rasakan begitu hampa, ku keluarkan balpoint dan beberapa lembar kertas yang biasa ku bawa dalam beraktifitas sehari-hari. Aku tulis apa saja yang terlintas dalam pikiranku saat ini, aku tulis apa saja yang hendak ku curhatkan pada lembaran-lembaran kertas putih ini. Aku lampiaskan seluruhnya, ya, aku lampiaskan. Hingga tanpa terasa tulisan-tulisan tersebut sudah membentuk sebuah tulisan opini yang kalau diketik ke komputer aku perkirakan 3.000 sampai 4.000-an karakter. Aku hampir tidak menyangka, biasanya aku butuh berjam-jam untuk nulis serampung ini. Ya sekalipun belum sempurna.
Melihat sinar mentari sudah mulai semakin petang, aku bergegas hendak pulang. Ya, aku harus pulang. Aku harus mengetik tulisan ini, aku harus ketik. Dan tentunya, harus ku kirim ke Media, ya harus ku kirim, dan harus dimuat, harus. Ini suaraku, suara seorang aktifis yang sudah jenuh dengan hiruk pikuk percaturan politik yang begitu menjenuhkan. Masyarakat harus memikirkan hal-hal yang lebih penting. Masih banyak ‘dimensi lain’ dari negeri ini yang lebih penting untuk dipikirkan. Pendidikan, anak-anak, dan..dan...ya masih banyak. Pikirku bergejolak. Namun... bruaaaakkkkkkkkk!!!
Sakit, sakit sekali, kepalaku berputar, semuanya terasa berat, berat. Ku pandangi sekitar, samar-samar ku lihat banyak orang, banyak sekali. Terasa diriku seakan hanya menyisakan nafas yang tidak cukup untuk mengeluarkan banyak suara. Ku pengang tangan salah seorang kerumunan yang entah siapa dia. Aku tidak jelas melihatnya. Aku ingin mengungkapkan sesuatu, aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku sudah tidak kuasa lagi, hingga akhirnya...perlahan terasa berat, semakin gelap, hingga... Aku tidak peduli siapa dia, yang terpenting bagiku selamatkan negeri ini...gelap.
* * *
Yogyakarta, 29 April 2010
Herman Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar