Sabtu, 22 Januari 2011

Menyoal Hedonesme Mahasiswa

Disetiap penghujung satu abad, akan lahir seorang reformis di bumi ini. Dia akan mengarahkan kemana peradaban akan bergerak. Dalam catatan sejarah, sang reformis itu berkreteria pencipta dan pekerja keras, tidak terpengaruh oleh budaya dan lingkungan. (Thomas Aquines)
Mendambakan generasi bermental inovatif dan bebas dari lilitan pengaruh zaman, rasanya naif ketika melihat fenomena sekarang. Mahasiswa yang menjadi sorotan sekaligus titian harapan ummat, malah menampilkan sikap diluar fungsi dan perannya sebagai agent social of change and transformation. Kini, mahasiswa terjerat dalam bundaran popular culture yang berhaluan hedonis-konsumeris. Hingga sampai pada ujung pemandangan yang kering akan tatanan moral dan etika.
Berdalih ingin membusungkan diri melalui gaya hidup, malah tersapu kebanggaan dan popularitas. Gerak simbiosis mahasiswa dari waktu ke waktu semakin menghawatirkan. Kenyataan ini memang membuat dahi berkerut. Seperti yang diutarakan Ahmad Bashir pada Sinergi “Sebenarnya gaya hidup mewah boleh-boleh saja asalkan sudah punya biaya sendiri. Namun hal itu tidak saya dapatkan pada mahasiswa sekarang. Mereka bergantung sama Ortu. Jadi gag pantas hidup bermewah-mewah”.
Pada salah satu obrolan panjang dengan reporter Sinergi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini tidak kuasa menahan letupan pemikirannya mengenai eksistensi mahasiswa yang tidak karuan. Ia melengkapkan “budaya intelektual dan kultur ilmiah kurang diminati oleh kalangan mahasiswa sekarang, mereka lebih tertarik pada kesenangan. Sulit menemukan kreatifitas edukatif yang tercipta dari komunitas mahasiswa, yang ada malah hura-hura dan menjalin asmara, mahasiswa yang berkumpul tidak lagi membicarakan tetang issu nasional, fenomena di masyarakat dan bagaimana menyikapi permasalahan bangsa dan Negara, makanya saya lebih enak tidur dan baca buku di Mushalla dari pada berkelompok dengan mereka”. Tuturnya sambil tersenyum.
Ahmad Bashir yang sering memakai peci di kampus, tercatat sebagai mahasiswa jurusan Jinayah Siyasah (JS) fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Selain itu, pria yang duduk dibangku semester empat ini, adalah penulis di media massa. Tulisan-tulisannya nongkrong nyaris disemua media nasional. “saya termasuk orang yang cepat berproses dalam menulis, selama dua bulan tulisan saya sudah dimuat”. Katanya.
Berkat karyanya itu, banyak anugerah yang Ia dapatkan. Dua minggu di Yogyakarta kiriman dari orang tua sudah berhenti. Bahkan mahasiswa yang biasa dipanggil Bashir ini sudah mampu membalikkan keadaan, dalam artian, orang tua sudah dapat menikmati kreatifitas anaknya, setiap tiga bulan Bashir mengirim uang -biasanya- berkisar 1.200.000.
Namun bukan hasil yang seharusnya dilihat, melainkan proses. Sebagai alumni Ponpes Al-Huda Sumenep-Madura, semenjak datang ke Yogyakarta Bashir memulai aktifitas dengan berjualan buku selama dua bulan. Namun kerja dengan hasil tidak seimbang, berjualan kesana-sini, hasilnya hanya bisa dibuat makan bersama kawan-kawan. Akan tetapi jauh dari sana, nyali intelektual dan keinginan untuk mandiri melenyapkan semua rasa sakit yang didera.
Bahkan disela kesibukannya, Bashir berhasil menyandang juara 1 lomba membaca al-Quran terbalik se-Bantul. Prestasi ini, tak lepas dari berbagai aktifitas yang ditekuninya, dari mangaji kitab, diskusi dan menulis jam 02.00 pagi. Semuanya, untuk mengangkat harkat mahasiswa yang kreatif dan penggerak. Menurutnya, menulis adalah suatu gerakan anti anarkisme yang yang harus dilestarikan. “mahasiswa itu seharusnya bisa menulis dengan baik, bukankah menulis merupakan satu-satunya pemikiran mahasiswa global”.
Dari sudut kekeluargaan, Bashir adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia dilahirkan di Batu Putih Sumenep Madura. Sikap dan keperawakannya, menampakkan kalau Ia berasal dari keturunan kurang mampu.. Saat ini, Bashir tinggal di pondok Hasyim Asyari Yogyakarta. Disana budaya membaca dan menulis memang telah digodok semenjak pesantren ini berdiri.
Berangkat jam 05.30 menuju kampus dengan sepeda ontel kesayangannya, Bashir tidak pernah terlambat kuliah atau mengeluh. Baginya, kondisi menggantung bukan mahasiswa dalam makna yang sebenarnya, tapi kemandirian dan kerja keras menjadi acuan. Walaupun jarak 17 KM ditempuh Ia nikmati dengan rasa senang. Kendati melihat teman-teman sejawatnya membawa motor, namun kreatifitas tidak bisa ditemui dari harta. “Mahasiswa itu selayaknya tidak bergantung, tapi hidup mandiri. Bagaimana mau membangun Negara, kalau hidupnya bergantung pada orang lain.” Ungkap pria yang berkulit putih ini.
Jauh dari penilaian orang-orang, kalau kuliah sambil kerja akan mengurangi nilai ujian semester. Klaim seperti itu tidak berlaku pada Bashir, setiap semester Dia tidak pernah mendapatkan IPK dibawah 3.00. “kerja dan menulis bukan alasan mendapat nilai rendah, bahkan dengan menulis bisa mendapat nilai “A”, itu sudah saya buktikan, selain itu saya gag pernah mendapat nilai 3.00, melainkan lebih diatasnya”.
Diakhir perbincangan, mahasiswa juara 1 lomba resensi OPAK 2008 ini, mengatakan agar mahasiswa tidak terperdaya oleh lingkungan tapi menciptakan lingkungan. Mengembangkan potensi dan berusaha keras hidup mandiri tanpa bergantung.(Basyar DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar