Judul buku : Wolf Totem
Penulis : Jiang Rong
Penerjemah : Rika Iffati
Tebal buku : 600 halaman
Tahun terbit : Desember 2009
Penerbit : Hikmah
Peresensi : Shirhi Athmainnah*
Jengis Khan adalah sosok paling berpengaruh di Asia. Ia berhasil meruntuhkan semangat perang di Tebing Serigala Liar, dimana 100.000 pasukan meruntuhkan musuh yang lebih dari setengah juta jiwa. Tidak hanya itu, Ia berhasil merebut ibu kota kerajaan Jin, Dadu, yang sekarang ini disebut Beijing.
Sangat sederhana pemikiran Jengis Khan, Ia hanya berguru pada alam. Serigala adalah sumber inspirasi dan guru besar bagi masyarakat Mongol. Strategi yang dilakukan sekawanan serigala ternyata cukup mampu menjadi kurikulum pendidikan militer masyarakat Mongol. Sehingga pantas jika serigala adalah totem spiritual masyarakat Mongol.
Chen Zhen, tokoh dalam novel karangan Jiang Rong yang berjudul Wolf Totem adalah pemuda yang giat mempertahankan asa tertingginya. Ia berani terjun langsung ke padang rumput Olonbulag untuk memahami seekor serigala beserta seluk beluk kehidupan padang rumput.
Keganasan serigala membuat pelajar dari Cina itu berdecak kagum. Keliaran serigala menjadi totem bagi penduduk Nomad padang rumput Olonbulag. Dengan membuang mayat manusia kepada serigala, penduduk Nomad Olonbulag percaya bahwa arwah jenazah itu akan sampai ke Tengger. Penghormatan akan kelestarian padang rumput sangat dijunjung tinggi. Karena bagi penduduk Mongol, padang rumput adalah kehidupan terbesar. Tanpa padang rumput, tak akan ada kehidupan.
Dilain sisi, Chen Zhen khawatir jika Bilgee sang kepala suku Olonbulag yang sangat disegani dan selalu disetujui pendapatnya, mengetahui kalau kalangan petani memelihara anak serigala. Pasalnya, masyarakat dilarang memelihara sribagala. Namun tidak membuat spirit Chen padam. Ia bahkan melakukan percobaan dengan mengawinkan anak serigala jantan dengan anak anjing betina. Akankah percobaan ilmiah Chen berhasil? Kuatkah menghadapi cemoohan kaum penggembala yang menganggap serigala sebagai totem spiritual mereka?.
Perjuangan memang tidak pernah mulus. Perbedaan perspektif untuk melestarikan padang rumput dilatarbelakangi oleh perbedaan basic keilmuan terjadi di Olonbulag. Bagi Bilgee, yang sudah puluhan tahun hidup dipadang rumput, ia berpandangan bahwa tidak boleh ada pemusnahan serigala dengan cara-cara ekstrim seperti menggunakan senapan dan bahan peledak. Namun pandangan itu terlihat tabu, sebab yang memegang kekuasaan di padang rumput itu bukan ahli padang rumput. Jadi pantas jika padang rumput terancam kesejahteraannya. Pemandangan ini merupakan representasi hadits Nabi SAW. “Barangsiapa menyerahkan suatu perkara bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran”.
Salah satu yang terbersit dari buku ini adalah bahwa kenyataan pahit harus ditelan ketika kekuasaan dan keserakahan yang berbicara. Semuanya bungkam tak berkata saat Bao Sunghui melakukan tindakan sewenang-wenang. Ia dengan angkuh memimpin perburuan serigala dengan cara-cara yang menurut adat istiadat padang rumput sangat tidak wajar. Dan ketidakwajaran itu nyaris membuat padang rumput yang damai itu terusik kehidupannya.
Novel yang telah diterjemahkan kedalam lebih dari 30 bahasa ini, Episode demi episode di padang rumput Mongolia selalu menarik perhatian. Taktik serigala liar Mongolia selalu inovatif dan mengagumkan. Perjuangan serigala dalam memburu mangsa menjadi ibrah bagi pembaca, bahwa hidup itu tidaklah gampang. Terlebih keinginan untuk hidup sejahtera, tidak semudah mengutarakan teori-teori dalam seminar-seminar. Perlu pengorbanan dan strategi.
Novel ini sangat cocok untuk memompa semangat para pejuang. Segala elemen masyarakat sangat mungkin untuk bisa belajar dari para penghuni padang rumput yang diceritakan dalam novel yang akan difilmkan in. Novel yang hidup seperti inilah yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia. Sudah terlalu sering masyarakat kita disuguhi novel dengan kisah-kisah yang mengharu biru dan menyebabkan kecengengan diakhirnya.
*penulis adalah civitas LKSY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar